"Binar bukan sekadar ingin memberikan ilmu digital, Binar ingin menjadi wadah pertolongan bagi siapapun. Seorang manusia yang utuh bukan cuma punya otak tapi juga juga punya body dan soul. Di masa disrupsi ini, anak-anak diharapkan bukan cuma otak tapi hatinya juga harus dipakai" Alamanda Shantika - CEO Binar Academy
Saat masih bekerja di salah satu start up, perusahaan tempat saya bekerja dulu, begitu sulitnya mendapatkan karyawan baru yang dibutuhkan. Perusahaan kami kelebihan front end engineer dan kekurangan backend engineer. Namanya start up, akhirnya front end juga harus bisa jadi seorang backend. Mau bagaimana lagi?
Dan saya yakin masalah tersebut dihadapi hampir semua startup yang ada di Indonesia. Mereka kekurangan sdm yang siap kerja dan bisa beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat. Jika tertinggal selangkah saja, sudah pasti kompetitor akan menyalip dengan cepat.
Demi selangkah lebih depan dari kompetitor yang ada akhirnya pembajakan sdm menjadi fenomena yang tidak bisa dihindarkan. Hal seperti ini sudah menjadi lumrah dalam dunia perusahaan rintisan. Siapa yang punya modal kuat untuk membajak sumber daya yang dibutuhkanlah lah yang akhirnya bisa menjadi pemenang.
Dalam sebuah kesempatan yang berbeda, Purwadhika pernah berujar bahwa saat ini investor tidak lagi melihat pada produk dan idenya saja, melainkan lebih dititik beratkan pada sebuah tim yang solid. Ide yang cemerlang dan produk yang andal sekalipun tidak mungkin bisa dikembangkan dan dibangun tanpa adanya tim yang solid. Turn overnya memang sangat tinggi. Belum tentu penggantinya juga bisa lebih cepat beradaptasi.
Itulah salah satu alasan Alamanda Shantika mendirikan Binar Academy. Sekolah coding ini awalnya memang didirikan di Yogyakarta. Selepas "lulus" dari GOJEK. Perempuan yang akrab dipanggil dengan Ala ini akhirnya mendedikasikan dirinya untuk menyiapkan talenta digital di era disrupsi. Ala berharap murid-murid Binar Academy bisa memberikan solusi bagi ekosistem yang terkena disrupsi.
Pak supir yang usianya mulai senja itu sempat merasa pesimis menghadapi masa depan. Saat itu taksi online menggurita. Setelah UBER muncul GOJEK dan GRAB. Perang harga antar startup inilah yang membuat taksi konvensional merana.
Momen percakapan itulah yang menyadarkan Ala bahwa ekosistem lain yang perlu diselamatkan ketika terjadi disrupsi. Inilah yang diharapkan muncul dari talenta-talenta yang sedang disiapkan dalam pendidikan Binar Academy. Ala berharap bahwa lulusan Binar Academy tak cuma punya otak yang cemerlang tapi juga punya hati.
Demi memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin belajar dengan sungguh-sungguh, Ala pun membebaskan biaya selama belajar di Binar Academy. Namun, pesertanya harus lolos tes logika yang sudah disiapkan oleh tim Binar Academy. Dari 10 ribu peserta yang mendaftar selama kurun waktu dua tahun belakangan ini hanya 400 orang yang lolos.