Sejak dulu kita semua mendapatkan pelajaran dan informasi bahwa Kalimantan adalah paru-paru dunia. Namun sayangnya, julukan paru-paru dunia itu bisa saja hilang jika kita tidak menjaganya. World Wildlife Fund (WWF) memperkirakan bahwa Kalimantan terancam kehilangan 75 persen hutan pada tahun 2020.
Data laporan WWF tersebut amat mengerikan. Catatan WWF menyebutkan bahwa tahun 2005 saja hutan Kalimantan tinggal tersisa 71 persen dari total 74 juta hektar yang ada. Lebih memprihatinkan lagi, tahun 2015 mencatatkan bahwa hutan Kalimantan tinggal tersisa 55 persen.
Deforestasi hutan tersebut tak lain dan tak bukan karena penebangan hutan untuk berbagai kepentingan. Termasuk masyarakat yang masih banyak bergantung pada hasil hutan. Akibatnya beberapa satwa langka dan fauna endemik Kalimantan terancam punah karena kehilangan habitatnya.
Kerusakan hutan bukan saja berdampak pada lingkungan tetapi juga pendapatan masyarakat asli yang memang sehari-hari memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adalah Franly Aprilano Oley, salah satu sosok yang tinggal di Desa Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Sosok yang pernah menjadi guru bersahaja ini merupakan salah satu yang bergantung pada hutan. Ia menjadi pengangkut sarang walet dari gua-gua di sekitar Merabu. Lambat laun penghasilannya pun menurun. Setelah ditelusuri ternyata walet-walet ini kehilangan tempat mencari makan karena banyak lahan di desa sekitarnya yang dibuka menjadi lahan sawit.
Franly tidak sendirian, karena ada banyak warga yang amat bergantung juga dengan Hutan Lindung Sungai Lesan. Franly akhirnya berpikir keras untuk menyelamatkan hutan sekaligus tetap memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Franly selama ini merasa resah karena program konservasi hutan tak selalu dibarengi dengan pemikiran untuk menyejahterakan masyarakat yang minim pendidikan. Apalagi akses ke kota cukup jauh dan dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Dulu, sebelum dibuka jalur dari Berau menuju Merabu dibutuhkan waktu selama 10 jam. Inilah kendala sekaligus tantangan yang dihadapi oleh Franly. Tapi, Franly tak patah arang dan memutar otak bagaimana caranya agar ia dan warga lainnya tetap bisa makan dan tetap menjaga keseimbangan hutan.
Beruntung ia bertemu dengan seorang peneliti karst Merabu tentang potensi wisata yang bisa ada. Gua-gua tersebut adalah gua tempat Franly dulu mencari sarang walet. Di saat yang sama, Franly pun mendapatkan informasi dari Dinas Kehutanan Kaltim bahwa masyarakat bisa mengelola hutan lindung dengan skema hutan desa.