menyusuri pematang sawah (semua foto dokumen pribadi) Destinasi pertama yang di kunjungi saat ke Desa Sawarna sebetulnya adalah gua lalay. Tapi entah kenapa saya lebih tertarik pada timbul (sunrise) dan tenggelamnya (sunset) matahari. Jadi postingan pertama Senin, lalu seharusnya adalah destinasi yang ketiga di Desa Sawarna Bayah, Banten. Panjang gua lalay di perkirakan berjarak kurang lebih 1000 meter. Untuk tiap kedalaman memiliki tantangan dan medan yang berbeda-beda. Yang jelas, karena masih di jadikan tempat tinggal para kelelawar, akhirnya penduduk disana menyebutnya sebagai goa lalay. Gua yang memikat karena stalaktit dan stalakmitnya ini memang salah satu destinasi wajib ketika kita datang ke Sawarna. Akan sangat di sayangkan sekali jika tak sempat menyusuri keindahan temaram gua lalay. Jarak antara Homestay dengan goa lalay sekitar 1,5 km. Tentu saja bagi kami yang baru saja tiba di Sawarna setelah menempuh perjalanan selama delapan jam bukanlah hal yang mudah. Apalagi kami bukan olahragawan yang rutin terbiasa olahraga tiga kali dalam sepekan. Namun, selama di perjalanan menuju goa lalay, kami di suguhi dengan pemandangan yang sangat memukau. Pematang sawah terhampar luas dan sedang menguning. Beberapa anak-anak terlihat sedang mengusih burung-burung yang mencari makan di tengah sawah.
Selain di suguhi dengan pemandangan yang memukau, kami pun kembali harus melewati sebuah jembatan gantung. Jembatan gatung menuju goa lalay terlihat lebih luas dan lebih kokoh. Meskipun terdapat sebuah jembatan, namun ternyata kedalaman sungai hanya selutut orang dewasa. Beberapa anak-anak kampung terlihat asyik bermain air di pesisir sungai. Bahkan beberapa ibu-ibu sedang asyik mencuci pakaian di pinggir sungai dengan warna air yang keruh. Air sungai di Sawarna memang terlihat cukup coklat karena dijadikan sebagai sumber air untuk mengaliri sawah. Setelah itu dikembalikan lagi ke sungai. Maka tak heran setelah seharian hujan mengguyur, sungai tak ubahnya seperti sawah karena warnanya yang coklat pekat.
Setelah hampir beberapa menit melawati keindahan alam pedesaan akhirnya kami tiba di sebuah pos yang jaraknya hanya 10 meter dari mulut gua. Disini setiap pengunjung akan diberikan arahan oleh petugas jaga. Setiap kepala di kutip lima ribu rupiah sebagai retribusi wisata. Meskipun menyediakan perlengkapan caving yang cukup lengkap mulai dari helm, pelindung lutut dan siku serta headlamp, tapi kami di izinkan masuk tanpa alat pengaman karena jarak yang di izinkan untuk anak-anak usia SMP dan SMA hanya berkisar 150 meter saja.
Dengan jarak seperti itu sudah bisa menyaksikan kelelawar yang bertengger di atap gua dan proses terbentukanya stalaktit dan stalakmit. Setelah diberikan pengarahan, kemudian kami pun masuk bergiliran. Kebetulan saya memandu grup F dengan anggota sembilang orang perserta didik. Semua anggota saya adalah anak-anak SMP. Meskipun grup F tapi grup kami selalu berada di depan.
Ini ketua kelompok dan wakil kelompok Grup F. Mereka berdua memiliki energi yang tak habis-habisnya. Sesekali saya selalu mengingatkan mereka untuk tidak terlalu bersemangat karena anggota kelompoknya kerap kali tertinggal.
Hanya dengan menggunakan kamera smartphone, saya mengambil beberapa gambar. Syukurlah gambarnya tidak terlalu mengecewakan. Sementara juru fotonya bergabung dengan kelompok terakhir di belakang.