Bersama murid-muridku tersayang pada saat melakukan kunjungan ke PPIPTEK Sundial, Bandung (Sep12/Dok.Pribadi)
Tiba-tiba ada sebuah inbox di facebook dari sahabat lama saya yang menanyakan mengapa saya mengajar di Sekolah Buddhis Nasional? Bagi teman-teman yang mengetahui latar belakang saya mungkin juga banyak yang bertanya hal yang sama. Saya berasal dari keluarga yang menananmakan ajaran agama Islam dengan kuat. Apalagi latar belakang pendidikan saya dari SD hingga kuliah tidak lepas dari pendidikan Agama Islam. Sekolah di pesantren hingga kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sebelum saya pindah saya sempat mencari beberapa sekolah Islam yang membuka lowongan. Wawancara demi wawancara saya lewati. Bahkan bukan hanya satu dua sekolah Islam yang saya datangi. Saya sengaja membuat hampir 20 lamaran untuk di masukkan ke Sekolah-Sekolah. Memang mayoritas lamaran tersebut saya masukkan di Sekolah-Sekolah yang berbasiskan Agama Islam mengingat lingkungan dan latar belakang saya itu tadi.
Akhirnya tiba pada saat deadline. Saya harus memilih apakah saya harus tetap di Bimbingan Belajar atau pindah saat itu juga ke Sekolah. Alasan saya pindah ke Sekolah sangat sederhana. Saya ingin lebih banyak mengikuti kegiatan-kegiatan di luar yang selama ini memang tidak bisa saya ikuti karena terbentur jam kerja di bimbingan belajar. Jam kerjanya dari sore hingga malam hari.
Istri saya termasuk yang menentang saya keluar dari Bimbingan Belajar. Karena pendapatan di Sekolah jauh lebih minim dari yang saya dapatkan di Bimbingan Belajar. Tapi lagi, saya bersikukuh bahwa saya merasa sudah tidak merasakan kebahagiaan seperti dulu dan tidak bisa menyalurkan passion saya di Bimbingan Belajar. Saya merasa sudah saatnya pindah dari tempat lama saya. Sudah hampir enam tahun lamanya saya bekerja di Bimbingan belajar mulai sejak praktek kerja lapangan hingga diterima menjadi pengajar tetap saat lulus kuliah.
Setelah saya di sekolah harapannya selain bisa terus mengajar, saya juga tetap bisa mengikuti berbagai pertemuan seperti seperti Akademi berbagi, Obsat (Obrolan Langsat), bahkan kopi darat bersama para blogger Kompasiana dan komunitas lainnya.
Akhirnya pucuk dicinta ulam tiba. Ada sekolah Buddhis Nasional di daerah BSD, Tangerang Selatan yang menerima saya sebagai guru. Sebetulnya saya sudah diterima di sekolah ini tahun ajaran sebelumnya. Tapi saat itu saya masih ragu. Akhirnya setelah satu tahun menjalani perenungan panjang dan konsultasi pada orang tua saya memantapkan diri untuk menerima tawaran mengajar dari Sekolah Buddhis Nasional.
Saya tidak mengerti mengapa saya tidak diterima di sekolah-sekolah yang berbasiskan Agama Islam. Saya merenung mungkin saya yang salah. Permintaan salary saya mungkin terlalu besar sehingga mereka belum bisa menerima saya sebagai anggota 'keluarganya'.
Awalnya memang banyak pikiran-pikiran negatif yang lebih dulu muncul.
"Bagaimana saya bisa Sholat?"
"Bagaimana jika saya diajak kebaktian?