Lihat ke Halaman Asli

Dzulfikar

TERVERIFIKASI

Content Creator

Menyiapkan Diri Ketika Ditinggal Pergi Anak Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan mbak Gaganawati tentang "Bagaimana jika anak kita tewas?" memang membuat kita sebagai orang tua merasa merinding. Banyak orang tua yang belum siap di tinggalkan si kecil yang begitu disayang, apalagi jika ditinggalkan ketika si kecil di usia yang sedang lucu-lucunya.

Ada dua pengalaman yang bisa saya ceritakan disini sebagai pembelajaran. Kisah yang pertama adalah kisah tentang keluarga kami. Kebetulan kakek dan nenek saya memiliki tujuh orang anak. Ibu saya adalah anak pertama. Dari ketujuh anak tersebut si bungsu lah yang paling disayang. Si bungsu usianya tidak terpaut jauh dengan kakak saya dan saya sendiri. Namun, takdir tak dapat di rubah. Paman saya itu meninggal di usia yang sangat belia karena kecelakaan roda dua. Saya masih menyimpan beberapa memori manis bersama paman saya itu. Dia adalah sosok yang jahil tapi baik hati. Kami kerap kali berantem karena urusan sepele. Meskipun demikian saya mengagumi paman saya itu. Dia adalah sosok yang supel di kampung kami. Ketika dia meninggal, banyak sekali masyarakat yang ikut serta mengantar sampai ke liang lahat.

Kisah-kisahnya semasa hidup mulai banyak yang diperbincangkan. Mengingat almarhum meninggalkan kami semua sangat tiba-tiba dan tanpa diduga. Mulai dari beberapa pemuda yang menceritakan bahwa dia adalah sosok anak yang berbakat di bidang catur dan sepak bola. Tak kalah dengan itu beberapa guru pun menceritakan beberapa kenangan manis bersamanya. Salah satu yang saya ingat adalah almarhum adalah sosok yang dapat menghafal lembaran-lembaran Al-Quran dengan begitu mudah dan tergolong cepat. Kami memiliki guru ngaji yang sama. Beliau menuturkan bahwa almarhum memang tergolong murid yang memiliki kemampuan lebih cepat dalam menghafal lembaran-lembaran Al-Quran dibandingkan murid-muridnya yang lain.

Lalu bagaimana perasaan Kakek dan Nenek saya? Kakek dan Nenek saya tentu saja sangat terpukul. Terutama Nenek saya yang ketika itu terlihat belum siap menerima kenyataan tersebut. Kakek saya masih bisa terlihat tegar. Namun, akhirnya memang tangis kakek saya tumpah ketika jasad almarhum dikebumikan.

Nenek saya mulai menata hati. Beberapa pakaian dan barang-barang yang digunakan oleh almarhum di berikan pada orang lain. Mungkin nenek saya khawatir jika barang-barang almarhum akan menjadi bayang-bayang yang tak mampu dia lupakan. Sedangkan kakek saya memiliki pendekatan yang berbeda. Kakek saya memang terlihat sangat sedih. Mengingat almarhum memang disiapkan untuk menjadi seorang Ulama besar yang hafal Al-Quran. Sejak itu, kakek saya mulai lebih banyak uzlah, mengasingkan diri dengan berdzikir dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Nenek saya mulai memindahkan kasih sayangnya kepada kami berdua. Cucu pertama dan keduanya. Kakak saya dan saya sendiri. Kadang kasih sayang nenek kepada kami berdua membuat iri anak-anak laki-lakinya yang lain yang merupakan paman-paman kami berdua. Lambat laun luka dihatinya mulai terobati, begitu juga dengan kakek saya yang telah ikhlas dengan kepergian anak bungsunya.

Pengalaman kedua adalah pengalaman ayah saya ketika ditinggal oleh bapaknya. Kakek dari ayah saya memang meninggal dunia dengan penyebab yang sama, yaitu kecelakaan kendaraan bermotor roda dua. Saya tidak bisa mengingat begitu jelas kejadian yang menimpa kakek saya.

Ayah saya tentu saja sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Mengingat ayah saya hanya memiliki satu saudara. Kakek hanya memiliki dua orang anak. Sehingga hubungan ayah dan anak memang sangat dekat.

Ayah saya menceritakan bisa lepas dan mulai ikhlas ketika mendekatkan diri pada Tuhan. Selama sebulan penuh ayah saya membaca Al-Quran. Ayah saya berusaha untuk mengkhatamkan Al-Quran selama satu bulan. Diakuinya bahwa getaran-getaran dari ayat-ayat yang dibacanya mulai masuk kedalam hatinya. Lambat laun ia mulai ikhlas dan benar-benar merasa plong terutama setelah mengkhatamkan Al-Quran.

Pengalaman spritual tersebut kerap kali ayah saya bagikan kepada rekan-rekan sejawat yang mengalami kondisi serupa, ditinggalkan oleh orang yang paling disayang. Dan tak sedikit yang merasakan keikhlasan setelah mengkhatamkan Al-Quran. Pedoman hidup orang Islam itu ternyata benar-benar manjur mengobati luka hati.

Ikhlaskan Kepergian Orang Tersayang Dengan Mendekatkan Diri Pada-Nya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline