Lihat ke Halaman Asli

Wartawan Tak Butuh Harta, Hanya Ingin Bahagia

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seketika ku hentikan gerakan tangan yang sedari tadi sibuk berselancar di atas keyboard komputer butut ini ketika mendengar ocehan langganan “kental” usaha jahit kakak ku.

Berbicara seakan-akan orang yang paling pintar sedunia dia melecehkan profesi yang ku idam-idamkan sejak aku berumur sepuluh tahun itu. Berawal dengan melemparkan senyum manis ia bertanya padaku, ”kuliah kau dek? Ambil jurusan apa?”

“iyabuk, aku ambil program studi komunikasi jurusan Jurnalistik”, dengan begitu bangga aku menjawab pertanyaan ibu yang mengenakan seragam Pegawai Negeri Sipil yang sedari tadi memperhatikan kegiatanku.

“Bah yang jadi wartawannya kau nanti? Kerjaan yang sering dibentak-bentak orang nya itu! Percumalah kau sarjana kalau gak pakai seragam kau nanti kerjanya”, wanita tua itu melotot padaku.

“kenapa dibentak-bentak orang? sekarang itu banyak wakil-wakil rakyat yang takut sama wartawan buk. Banyak juga media yang udah menyediakan seragam untuk para wartwannya”, aku mencoba menjelaskan keadaan media massa yang kian hari kian bertumbuh pesat saat ini.

“iya, tetap aja gak bisa kaya kita dibuatnya”.

Baru aku ingin mematahkan perkataannya, ibuku yang juga berada disitu melihat ku dengan mata yang hampir keluar. Aku kenal betul isyrat itu, secara tidak langsung ibu menyuruhku diam, jangan melawan orang tua, semua yang dikatakan orang yang lebih tua adalah benar, yang muda diam saja, jangan cemberut apalagi pergi meningalkan tempat, pokoknya harus tetap pasang senyum yang pling manis yang kita punya.

Dari dulu aku tetap tidak bisa menerima ini. Dari SD hingga kuliah aku terus di ajarkan untuk jadi orang yang kritis, orang yang bisa mempertahankan apa yang ia anggap benar. Tapi ketika di rumah aku terus di ajarkan sopan santun untuk terus menghormati orang yang lebih tua dengan cara mengorbankan harga diriku sendiri. Ya apa mau dikata, aku tidak mau jadi anak durhaka, aku harus maklum akan adat istiadat suku jawa yang sudah mendarah daging di seluruh anggota keluargaku.

Tidakkah mereka mengerti apa yang dimaksud dengan wartawan? Apakah mereka tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu jasa para wartawan yang sudah membuka berbagai hal terkait kebobobrokan sistem pemerintahan di bumi pertiwi ini?

“Wartawan tidak beda dengan pahlawan. Selalu berjuang memperoleh apa yang menjdi hak warga Negara. Berjuang tanpa memikirkan imbalan, Masihkah memandang wartawan sebagai profesi pelarian? Karena tidak ada pekerjaan lagi ya mau tidak mau menjadi wartawan. Siapa tau bisa akrab dengan pejabat. Mudah-mudahan saja nanti dikasih pekerjaan yang lebih layak dari pejabat itu”. Dasar pemikiran yang tidak bertanggung jawab menurutku.

Ku beri tahu kawan, menjadi wartawan adalah panggilan jiwa, dengan menjadi wartawanberartikita sudah menjadi pilar ke empat dari suatu Negara yang bisa mengendalikan suatu Negara.

Bukankah sungguh mulia? Haruskah untuk menaikan tingkat status sosial seseorang dilihat dari seragam instansi tempat ia bekerja?

“Bah, sekarang semua orang berebut jadi pegawai Negeri. Kalau udah jadi pagawai udah enak hidup kita”, kembali ibu itu ber-celoteh.

Aku mengerti mengapa ia seperti itu. Naluri semua orang tua pasti menginginkan ankanya bahagia, tidak perduli minat dan bakat yang dimiliki anak mereka. Semua dari mereka selalu memimpikan segala sesuatu yang mudah dan instan untuk anaknya dalam meraih kepastian masa depan. Begitupun dengan orang tuaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline