Isu kenaikan harga LPG (elpiji) non subsidi 12 kg bukan lagi hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi dilema bagi masyarakat pengguna gas elpiji tersebut, pemerintah, dan korporatnya itu sendiri, yaitu Pertamina. Pertamina mengambil kebijakan tersebut karena setiap tahun harus menanggung kerugian yang cukup besar. Pada tahun 2011 hingga 2012 saja Pertamina mengalami kerugian lebih dari 5 triliun rupiah, jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah perusahaan sebesar Pertamina. Kenaikan harga LPG 12 kg ini sebenarnya menyumbang inflasi meskipun jumlahnya tidak terlalu berpengaruh secara signifikan.
Masalah kenaikan harga LPG 12 kg ini menjadi hal yang sangat krusial bagi Indonesia karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan LPG 12 kg akan beralih ke LPG 3 kg apabila gas elpiji non subsidi tersebut mengalami kenaikan meskipun pihak Pertamina menjamin hal ini tidak akan terjadi dengan cara menolak lonjakan permintaan LPG 3 kg. Hal ini tentu saja akan membebani keuangan negara karena LPG 3 kg adalah LPG subsidi yang diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah harus mengeluarkan dana subsidi yang otomatis lebih banyak daripada sebelumnya. Di sisi lain hal ini juga akan memicu kenaikan harga sejumlah bahan pokok.
Beberapa bulan yang lalu, di bulan Januari 2014, Pertamina mengumumkan kebijakan kenaikan harga LPG 12 kg. Harga jual LPG non subsidi tersebut mencapai lebih dari Rp120.000,00. Sebagian orang memilih tidak menggunakan LPG 12 kg dulu dan sebagian lainnya beralih ke LPG 3 kg. Mereka menunggu harga gas elpiji non subsidi tersebut kembali stabil ke harga sebelumnya. Akibatnya, banyak pengecer yang memutuskan untuk tidak mengambil pasokan LPG 12 kg tersebut dari agen sehingga di beberapa daerah LPG 12 kg menjadi langka.
Mengapa banyak yang menolak kenaikan harga LPG non subsidi 12 kg? Padahal jalur distribusi LPG 12 kg tidaklah pendek dan harga LPG di Indonesia pun termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. LPG 12 kg harus melalui 8 titik mata rantai distribusi yang harus dijaga kualitas dan layanannya untuk sampai ke masyarakat yang menggunakannya, yaitu sumber suplai LPG, pengangkutan LPG ke depot atau terminal, penyimpanan di terminal LPG dan floating storage, pengangkutan dari terminal LPG ke stasiun pengisian, pengisian tabung di stasiun pengisian, pengetesan ulang tabung LPG 12 kg, pendistribusian produk LPG ke agen LPG 12 kg, dan penjualan produk LPG ke pengecer atau konsumen. Sumber suplai LPG sebesar 42% berasal dari kilang LPG di Indonesia yang mana Pertamina harus bekerja sama dengan kontraktor untuk mengambilnya, sedangkan sisanya sebesar 58% merupakan LPG yang diimpor. Selanjutnya, LPG harus diangkut dalam bentuk refrigerated dengan suhu -40 derajat celcius menggunakan kapal untuk bisa sampai di terminal LPG dan floating storage. Setelah itu, barulah gas LPG diangkut ke stasiun pengisian. Pendistribusian LPG ini dari sumber suplai hingga sampai ke tangan pembeli tentu saja tidak murah.
Hal yang tidak terlalu disadari oleh masyarakat Indonesia adalah kenaikan harga gas elpiji non subsidi yang terjadi 6 bulan sekali per kilogramnya. Pemerintah dan Pertamina tentu saja sudah mempertimbangkan hal ini agar tidak memberatkan masyarakat menengah ke atas. Namun, masih saja banyak pihak yang memprotes kebijakan ini.
Bayangkan saja jika kita sebagai masyarakat menekan Pertamina untuk mempertahankan harga LPG 12 kg melalui pemerintah. Banyak hal yang tidak menyenangkan yang akan terjadi. Pertamina tentu saja akan membatasi pasokan gas elpiji non subsidi untuk mengurangi kerugian yang ditanggung oleh Pertamina. LPG 12 kg akan semakin langka. Masyarakat yang tidak mendapatkan LPG 12 kg akan beralih ke LPG 3 kg. Sekalipun mendapatkan LPG 12 kg, maka harganya akan lebih mahal melebihi ketika harga dinaikkan oleh pihak Pertamina. Industri makanan juga akan mengalami lonjakan harga. Sementara itu, pasti ada beberapa pihak yang akan mengambil keuntungan dengan langkanya gas elpiji ini. Agen-agen nakal akan menimbun LPG 12 kg bahkan mengoplos LPG tersebut. Hal ini tentu saja sangat berbahaya jika terjadi kebocoran di tabung gas. Pemerintah pun akan kalang kabut karena perekonomian negara menjadi tidak stabil. Dengan begitu, kita akan berada di satu kesimpulan, lebih baik harga LPG non subsidi mengalami kenaikan daripada harus langka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H