Lihat ke Halaman Asli

Racun

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tak ingat pasti. Entah ini kali ke berapa. Kayaknya kelima, atau keenam barangkali. Ya, dia datang dan merayuku lagi. Belum kapok juga dia rupanya berkali-kali aku tolak mentah-mentah.

Seperti biasanya, dia membual lagi. Dia mencoba meyakinkanku betapa dia mencintaiku, keluargaku, bahkan juga semua tetangga dan teman-temanku. Ya, semuanya dia sebutkan, dan masuk dalam rencana hidup yang ia tawarkan untukku. Hidup yang ia gambarkan begitu indah, walaupun bagiku tetap tak masuk akal dan terlalu memaksa.

“Kenapa kamu masih mengejarku?”

“Aku mencintaimu.”

“Aku tidak mencintaimu.”

“Suatu saat kamu akan mencintaiku.”

Tapi entahlah, kali ini aku tak bisa menolaknya. Harus aku akui, aku mulai terpesona pada kegigihannya. Aku juga mulai suka dengan hidup yang ia tawarkan, walaupun tetap saja tak sepenuhnya aku setuju. Ah, biarlah, toh cinta memang seringkali tak beralasan.

__________________

Aku tak berkutik, sebuah pistol ditodongkan di belakang kepalaku. Semua begitu tiba-tiba. Lututku gemetar, lemas. Aku jatuh terduduk, tak sanggup berdiri lagi. Keringat dingin membasahi tubuhku.

Tapi mereka membiarkanku. Tak menyentuhku sedikitpun. Dengan isyarat jari, salah seorang memberi kode supaya aku tak bersuara. Mereka lalu mendobrak pintu ruang atasanku. Ku dengar suara berdebum, seperti benda berjatuhan.

Tak lama kemudian, atasanku diseret keluar. Tangannya terborgol.

“Anakku..., kamu tidak apa-apa, Nak...?” Jerit sorang wanita tua. Dia lalu memelukku, menangis tersedu-sedu. Aku tak mengerti apa-apa. Tak tahu juga dia siapa.

“Jangan ikuti dia, mbak... Dia racun republik ini,” kata salah satu pria bersenjata itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline