Lihat ke Halaman Asli

UNAS, Cermin Mendiknas Malas

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Aha, judul yang panas. Ya, memang bisa membuat telinga panas. Tapi semoga kepala tidak ikut-ikutan panas. Kalau kepala panas, akal sehat terlepas, nah saya nanti yang jadi was-was...

Tapi mengapa mendiknas dikatakan malas? Bukankah ujian nasional merupakan sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas akademik lulusan? Aha, mari ikut saya.

[caption id="attachment_98610" align="alignright" width="394" caption="wandykumis.files.wordpress.com"][/caption]

Betul, ujian nasional adalah sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas akademik lulusan. Tapi coba tengok apa yang dikatakan S.G. Grant dalam Theory and Research in Social Education (2002: 2), “testing drives much of what teachers do.”Jadi, jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan, berlakukan saja tes yang sulit. Entah terpaksa entah tidak, guru yang malas pun akan berusaha keras. Proses pendidikan akan menjadi lebih baik dengan sendirinya. Enak bukan?

Lebih jauh, Grant juga mengatakan, “curricular and instructional change will occur if and when the tests change” (hal. 2). Jadi, tampaknya, evaluasi dan beberapa perubahan pada ujian nasional - skor minimal kelulusan yang dinaikkan setiap tahun, misalnya - didasarkan pada asumsi semacam ini. Naikkan saja batas kelulusannya, maka semua guru dan murid akan bekerja lebih keras. Proses pendidikan menjadi lebih baik dengan sendirinya. Enak bukan?

Lalu apa susahnya menjadi mendiknas kalau begitu? Nah, itu dia. Meneruskan pemberlakuan ujian nasional dan membuat sedikitperubahan setiap tahun, saya kira bukanlah perkara yang rumit untuk orang sekaliber mendiknas. Usaha simpel ini toh ternyata berhasil membawa peningkatan kualitas pendidikan, minimal terwujud dalam angka-angka statistik.

Dan jika memang benar ada peningkatan kualitas pendidikan, siapa sebenarnya yang bekerja keras? Siapa pula yang duduk bermalas-malas? Sederhana sekali jawabannya bukan? Karena “change the test, and it changes teachers’ practices.” (Grant, 2002: 3)

Tidak sepenuhnya salah sebenarnya untuk tetap memberlakukan ujian nasional. Kita tetap patut menghargai bahwa ujian nasional adalah sebuah usaha dalam rangka peningkatkan kualitas pendidikan, tapi harus diakui juga bahwa itu adalah usaha yang paling malas. Tentu ini menjadi celaka besar bagi bangsa ini jika ujian nasional ternyata tidak dibarengi dengan revisi substansial pendidikan kita, baik secara sistemik (concept, design, dan operation) maupun secara sistematik (goal, process, dan resources).

Yah, semoga saja ujian nasional bukan untuk menutupi ketidakmampuan mendiknas mencetuskan gagasan dan kebijakan yang cemerlang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline