Diiringi meriah tetabuhan tifa, sekelompok perempuan bertelanjang dada berlompatan lincah-indah menggoyangkan buah dada. Buah dada pun terpental-pental, bertepuk dengan tulang dada, menghasilkan bunyi seperti bertepuk tangan, seirama dengan iringan tifa.
Ama waine, nama tarian itu.Ama artinya buah dada atau susu, waine berarti tari. Ya, tari susu, tari perdamaian, tari yang awalnya dipakai untuk mengakhiri perang suku. Para perempuan, dengan bertelanjang dada, berlompatan dan menggoyangkan buah dada, memisahkan dua kelompok yang bertikai. Jika susu sudah bergoyang,semua anak panah harus disimpan, busur diturunkan, tombak tak boleh lagi dilemparkan. Perang diakhiri.
Hari itu ama waine ditarikan untuk mengungkapan syukur kepada Pencipta yang memberi hidup penuh damai dan kelimpahan bagi mereka, bagaikan seorang ibu menyusui anak-anaknya. Dataran rendah, yang dulu hanya ditumbuhi ilalang dan pepohonan sagu, kini telah menjadi hamparan padi menguning, siap untuk panen raya.
Kaum laki-laki menyusul dengan tari koteka. Koteka adalah alat penutup penis, terbuat dari terong hutan yang sudah dibuang isinya. Tarian koteka juga sebuah ungkapan syukur, “dari dalam koteka itu Tuhan memulai saya punya hidup”.
“Hari ini kitorang mau bersyukur karena Tuhan sudah kasih panenan padi yang banyak sekali untuk kitorang semua. Bapak presiden sudah tetapkan kita punya wilayah jadi lumbung padi nasional.”
Dari bawah podium, para transmigran bertepuk tangan meriah.
***
“Mama, stop bakar petatas sudah. Saya tra mau sarapan petatas.”
“Eh, Melianus, kau kenapa kah?"
“Ah, mama ini macam orang jaman dulu sekali. Petatas bikin saya punya kentut bau, Mama. Teman-teman di sekolah suka ejek-ejek saya. Dorang panggil saya kentut petatas.”
"O iyo sudah. Nanti mama masak sagu saja ee...”
“Ah, mama masak beras saja sudah tho...!”
“Ah, macam kau punya beras saja... Tanam padi saja kau tra tahu mo...!”
“Beli saja sudah tho...!”
"O iyo sudah. Kau pulang sekolah nanti langsung pigi kebun ee... Kau ambil petatas, baru nanti mama jual di pasar."
* * *
[caption id="attachment_91878" align="aligncenter" width="201" caption="www.indonesiaberprestasi.web.id"][/caption]
Berkilo-kilo petatas, satu noken penuh. Mama Melianus menggendong noken itu dipunggungnya. Tali noken disangkutkan di jidatnya. Berat, meninggalkan bekas tali di jidat, tapi mama Melianus sudah terbiasa.
Masih dengan noken yang sama, tergantung dalam posisi yang sama pula, mama Melianus pulang, disambut oleh sorak girang Melianus ketika mendapati satu liter beras di dalam noken mamanya.
“Ah, begini boleh, Mama... Saya punya kentut jadi bau wangi nanti tho...”
“Ah, kau bicara sembarang saja. Trada kentut bau wangi!” “Ah, kentut beras itu punya bau wangi sekali, Mama...”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H