Seorang perempuan paruh baya. Nanar matanya, menyorotkan kebencian, menebar ancaman. Ia memesan peti mati. Dua buah, kembar. Kecil ukurannya, tidak wajar.
“Ah, pokoknya dibuat saja, Pak. Sesuai dengan ukuran yang saya minta.”
ooo
Hatinya serasa teriris, tapi dia harus tega, dia harus melakukannya. Dia kuburkan peti mati itu. Sejumput tanah terakhir dia hamburkan, membentuk sebuah gundukan. Satu misi terselesaikan.
Dia bangkit berdiri, ada sebersit kelegaan, sebersit kepuasan. Langkahnya terasa lebih ringan. Tapi masih ada satu misi lagi. Dia bungkus peti mati itu dengan kertas berwarna hitam. Dia selipkan surat pendek di dalamnya. Dia masukkan bungkusan peti mati itu ke dalam tasnya. Sorot matanya tetap tajam mengancam.
ooo
Seorang laki-laki paruh baya. Lembut tatapan matanya. Mencumbu mesra seorang wanita muda. “Jangan kuatir, Sayang, kita akan segera menikah,” bisik laki-laki itu sambil terus mencumbu sang wanita muda. Sang wanita muda telentang, terbang terbuai tak berdaya.
Bel berbunyi. Laki-laki itu membukakan pintu, hanya mengenakan piyama.
“Ada kiriman barang, Pak.”
Sebuah bungkusan kecil berwarna hitam. Laki-laki itu membukanya. Dia terperanjat, sebuah peti mati mungil. Tangannya bergetar, jantungnya berdegub kencang. Sehelai surat kecil terselip di dalamnya, “Hari ini ulang tahun perkawinan kita yang ke-25. Ini kado buatmu, untuk mengubur cincin perkawinan yang masih ada di jari manismu.”
[caption id="attachment_270130" align="aligncenter" width="270" caption="kaskus.us"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H