Keputusan DPR RI mengeluarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020 barangkali merupakan kabar gembira bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pasalnya, meski ketika masuk Prolegnas pada tahun 2016 semua fraksi di DPR menyetujui, pada akhirnya PKS-lah yang menolak RUU PKS. Bahkan, ketika DPR dan pemerintah menyepakati pembentukan Tim Perumus (Timus) untuk membahas RUU PKS pada September 2019, satu-satunya fraksi yang tidak setuju hanya fraksi PKS. (Kompas.com)
Lalu, apakah terlemparnya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 'hanya' karena ketidaksetujuan (penolakan) fraksi PKS?
Mengutip pernyataan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Marwan Dasopang sebagaimana dilansir laman Kompas, Kamis (2/7), alasan dikeluarkannya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 karena pembahasannya agak sulit.
Marwan menyebut, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih belum menemukan kata sepakat soal judul dan definisi kekerasan seksual. Hal lain yang masih menjadi perdebatan, yaitu soal aturan mengenai pemidanaan.
Jika kita tengok ke belakang, sepanjang perjalanan pembahasan RUU PKS, tiga hal yang disebut Marwan itulah poin-poin yang tidak disetujui (tidak mendapat persetujuan) dari fraksi PKS.
Persoalannya, apakah Komisi VIII yang terdiri dari 53 anggota dari 9 fraksi tidak bisa menemukan argumentasi yang kuat untuk 'mematahkan' pendapat fraksi PKS terkait tiga hal yang diperdebatkan itu?
Apakah di antara pimpinan dan anggota Komisi VIII tidak ada yang bisa memberi penjelasan yang logis terkait penggunaan kata 'kekerasan' sebagai judul RUU, sehingga 'kalah' oleh PKS yang memaksakan kata 'kejahatan'?
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V, salah satu makna kata 'kekerasan' adalah, 'perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain'.
Dengan demikian, persoalan judul RUU mestinya bukanlah persoalan prinsip yang tidak perlu lagi diperdebatkan. Namun faktanya, Komisi VIII DPR RI sepertinya sengaja 'menyerah kalah' oleh pendapat fraksi PKS yang 'hanya' sebagian kecil dari keseluruhan anggota komisi.
Pun demikian dengan perspektif liberal terkait definisi kekerasan seksual yang menjadi alasan PKS tidak setuju dengan RUU PKS. Perspektif adalah sudut pandang. Perspertif liberal terkait definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS 'hanyalah' sudut pandang fraksi PKS. Apakah anggota Komisi VIII yang lain tidak punya sudut pandang sendiri untuk 'meyakinkan' PKS bahwa perspektif liberal yang dikatakan PKS adalah sebuah kekeliruan?