Selama sekitar sebulan lebih ini, kata 'corona' sepertinya sudah sangat familiar di kalangan masyarakat Indonesia, baik di kota maupun di desa-desa. Setiap hari, televisi tidak pernah berhenti memberitakan tentang bencana virus corona.
Namun, karena penggunaan bahasa para petinggi negara yang biasa diberitakan media cenderung ndakik-ndakik, yang seolah malah bangga menggunakan istilah asing, pengertian dan cara pencegahan kemungkinan terjadinya penularan virus corona kurang bisa dipahami masyarakat desa. Terutama warga desa yang tergolong sudah berusia senja.
Seperti yang pernah saya alami ketika beberapa hari yang lalu, dalam sebuah obrolan di warung kopi, Mbah Kadi -- tetangga saya, bertanya tentang virus corona. Obrolan tersebut telah saya rangkum dalam sebuah dialog berikut ini;
"Jane virus corona kui opo? Kok mbendino diberitakne neng tivi," tanya Mbah Kadi.
"Virus corona kui pagebluk, Mbah."
Mendengar kata pagebluk, Mbah Kadi langsung paham. Di kalangan masyarakat Jawa, sejak dulu kata pagebluk (sekarang kosa kata ini sudah masuk KBBI), memang telah dipahami sebagai wabah penyakit menular yang bisa menyebabkan kematian.
"Lha trus, virus corona kui pagebluk model piye?"
"Penyakit akibat virus corona kui koyok nggreges, watuk pilek, adem panas ngono kae lo, Mbah. Tapi enek sesek'e. Virus corona kui nyerang paru-paru, mulo ambekan dadi sesek. Mangkane, wong sing kenek virus corona kui kudu ndang ditangani dokter supoyo iso nyelametne nyowone lan ben ora nulari kancane."
"Trus piye carane supoyo wong sing iseh sehat koyok aku ngeneki ora ketularan virus corona?"
"Ngeten, Mbah. Virus corona kui ora iso miber dewe neng awang-awang. Virus corona kui yo ora ndue sikil. Dadi ora iso mlaku dewe njur nemplek nang wong-wong sakkarepe dewe. Corona kui iso nular lantaran menungso. Nek ono salah sijine menungso sing kenek virus corona kui watuk utowo wahing, wong-wong ndek sekitare mesti iso ketularan."
"Oh, ngono to. Trus aku kudu piye?"