Desa sebagai pemerintahan terendah di Indonesia yang bersentuhan langsung kepada masyarakat dalam memberikan pelayanan jalannya pemerintahan. Perjalanan panjang ke keberadaan kepala desa salah satu jabatan yang memilih otonomi di beberapa hal terlebih dalam hal masa jabatan yang melekat terhadap kepala desa dalam rangka memberi keistimewaan tersendiri.
Dalam catatan panjang Kekuasaan kepala desa pada masa Orde Baru begitu besar dan rentan
disalahgunakan. Dengan kewenangan yang
luar biasa, para kepala desa tidak memposisikan diri sebagai pengayom masyarakat, melainkan justru meneguhkan posisinya baik di hadapan desa maupun warganya. Apalagi, mengutip Dedi Supriadi Adhuri, sistem politik authoritarian yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru tidak memungkinkan kepala desa menjadi penyampai aspirasi rakyat (Adhuri, 2002). Terlihat sekilas bahwa jabatan kepala desa sejak awal memang memiliki orientasi untuk diri sendiri sebagai orang memilki kekuasaan.
Sebagian di antara mereka juga terbukti memperkaya diri dengan aset-aset desa.
Berbagai fasilitas dan sarana publik yang semestinya dinikmati oleh rakyat malah dikuasai olehnya demi pemenuhan hasrat pribadi. Dalam rangka memberikan kontrol terhadap kekuasaan kepala desa inilah, masa jabatannya diturunkan dari 8 tahun menjadi 6 tahun. Langkah ini diharapkan mampu mengubah perilaku kepala desa yang sewenang-wenang serta meminimalisir feodalisme Pasal 39 UU Desa, yang berbunyi (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan; (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. masa jabatan ini memberikan penegasan bahwa perlu adanya jabatan yang lebih panjang dan periodisasi yang berbeda dengan jabatan kekuasaan lainnya yang hanaya memilki dua priode.
Langkah perpanjangan yang diaspirasikan sebenarnya tidak terlepas dari ada pembangunan desa yang terselesaikan jika jabatan tersebut hanya 6 tahu, jika memang alasan ini sangat tidak logis jabatan 6 tahu dengan 3 kali priode sudah sangat cukup melakukan pembangunan desa yang cakupannya wilayahnya yang hanya sedikit dan persoalan tak serumit kekuasaan presidennya dan kekuasaan Gubernur dan wali kota, pembatasan ini sejatinya dalam rangka memberikan pembatasan agar tidak terjadi abuse of power menyalagunakan kekuasaan yang sering terjadi di desa karena lemahnya pengawas dari lembaga yang ada.
Perpanjangan masa jabatan dengan memberikan kesempatan tiga priode dalam rangka memberikan jangka panjang terhadap keberlangsungan pembangun di desa dengan keanekaragaman sosial budaya yang ada desa. Dalam Undang Undang Nomor 6 tentang Desa bahwa masa tiga priode dan secara berturut maksimal 18 Tahun hal ini sebenarnya pernah di ajukan pengujian di mahkamah Konstitusi, dari putusan MK ini memberikan penegasan bahwa bahwa masa jabatan jabatan 6 tahun dengan tiga kali priode dimana aturan semacam sudah konstitusional dan tidak bertentangan dengan Undang -Undang Dasar 1945.
Dalam pembahasan kali ini penulis akan fokus dua hal terhadap rencana penambahan jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, pertama dalam aspek hukum, kedua aspek demokrasi dan ketiga dinasti politik sudah mengakar di pedesaan.
Bertentangan dengan dengan faham Konstitusionalisme
Saat berbicara negara hukum pasti tak akan terlepas sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa "Negara Indonesia negara hukum"pasal memberikan komando terhadap segala aktifitas penyelenggaraan negara termasuk terhadap penyelenggaraan pemerintahan baik itu pusat presiden sampai jabatan paling rendah kepala desa.
Dasar hukum ini tercantum dalam Berdasarkan pemikiran di atas, norma yang diatur dalam UU No. 6/2014 tentang desa pembatasan ini yang disebut konstitusionalisme Dalam pandangan ini meminjam pendapat Friedrich,konstitusionalisme didefinisikan "an insti tutionalised system of effective, regularised restraints upon governmental action" (suatu sistem yang dilembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan
pemerintahan).
Pembatasan ini adalah dalam rangka memberikan pembatasan terhadap kekuasaan dapat di ikat oleh hukum agar tidak sewenang- wenang dalam pandangan Lord Acton "Power trends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut) (Saraswati, 2014).jabatan desa yang terlalu akan akan mengundang korupsi hal ini dapat dilihat dengan data jabata 6 tahun saja ICW menyebut, tren penindakan korupsi di tingkat desa sudah dalam levelmengkhawatirkan. Khusus untuk yang sudah terdata saja, ada 500an kasus korupsi di tingkat desa dengan nilai ratusan miliar rupiah. Itu tercatat mulai 2015 sampai 2021. ICW menambahkan "Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar," dana yang sangat fantastis, alih-alih dalam rangka pembangunan desa justru terbalik untuk memperkaya diri.