Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Koes Plus benar bahwa hidup di Indonesia tak ubahnya hidup di surga. Segalanya serba mudah dan menyenangkan. Laut yang luas dikelilingi ribuan pulau membuat perairan Indonesia tak ubahnya kolam yang nyaman untuk diarungi dan tempat yang nyaman bagi aneka ragam kehidupan hewani dan hayati. Penduduknya tidak perlu bersusah payah menangkapnya karena hewan laut ini justru datang menghampiri. Atau jika tidak, mereka cukup bermodal kail dan jala---teknologi paling sederhana dalam menangkap ikan.
Selain perairan, daratan Indonesia juga terkenal kesuburannya. Lagi-lagi kelompok musik tahun 70-an ini menggambarkan dengan cerdas. Berkat kesuburan tanahnya, menancapkan tongkat bahkan batu, berubah menjadi tanaman. Terlalu sedikit tanah di kolong langit ini sesubur tanah Nusantara. Indonesia memang tak ubahnya sepotong kehidupan surga yang diturunkan ke bumi.
Kesuburan tanah Indonesia mengundang banyak sanjungan. Katanya bumi Indonesia itu gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Artinya kekayaan alam Indonesia begitu berlimpah sehingga masyarakatnya hidup makmur dan tenteram.
Sanjungan lain yang tidak kalah membanggakan: Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Indonesia adalah negara bak batu permata (zamrud) yang indah dan hijau. Indah berkat pesona alamnya dan hijau lantaran hutan yang membentang di sekujur tubuhnya. Mulai dari kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara dan sebagian tanah Jawa. Apalagi posisi Indonesia berada di garis equator (khatulistiwa).
Kita wajib bersyukur dan bangga atas kekayaan alam Indonesia. Sukar mencarikan negara yang mampu menandingi Indonesia dalam hal kesuburan tanah, keelokan alam, keanekaragaman flora dan fauna, komposisi luas daratan dan lautan begitu proporsional, kesejukan iklimnya, keramahan penduduknya, dan letak geografis yang sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera.
Sayang kebanggaan tersebut membuat kita pongah dan terlena. Kita kemudian berpikir dan berkeyakinan bahwa SDA adalah modal utama Indonesia untuk menjadi negara besar dan kuat di kancah global. Sialnya lagi, kebanggaan berlebihan terhadap SDA akhirnya mengkristal dan menjadi paradigma pembangunan. Buktinya, pembangunan negara ini senantiasa bertumpu dan mengandalkan kepada kekayaan dan kekuatan SDA.
Kita berlomba-lomba menambang dan membongkar isi perut bumi: minyak bumi, nikel, tembaga, emas, batubara, biji besi, baik oleh perusahaan maupun penambang konvensional. Setelah menguras habis isinya, mereka membiarkan pertambangan mangkrak tanpa ada good will untuk memulihkan apalagi menyembuhkan luka geologis yang mereka perbuat. Mereka meninggalkan luka menganga di perut bumi pertiwi.
Tapi kita terlanjur bangga Indonesia tercatat sebagai pengekspor batubara nomor 2 di dunia meski cadangan batubaranya hanya no 16 (5.370 juta ton). Sementara Tiongkok yang cadangan batubaranya nomor 3 di dunia (114.500 juta ton) memilih mengimpor batubara dari Indonesia.
Di tempat lain, kita sibuk membabat hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua juga Nusa Tenggara secara membabi buta. Penggundulan hutan (deforestasi) dan perusakan hutan (degradasi) dengan dalih menjaga devisa negara dimaklumi bahkan direstui. Hutan dan lahan gambut disikat habis demi perluasan lahan kelapa sawit atau menjaga pasokan permintaan kayu gelondongan oleh pihak luar.