Lihat ke Halaman Asli

Fifkaindi Fifkaindi

karyawan swasta

Menanti Revolusi dari Desa Jilid 2

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik mencermati pembangunan di Indonesia. Setelah setengah abad merdeka ternyata hasil pembangunan dinikmati mayoritas masyarakat perkotaan. Sebaliknya masyarakat pedesaan terus menerus dililit kemiskinan. Dari 26% penduduk miskin di tanah air, separuh lebih tinggal di pedesaan.

Sungguh sukar dinalar. Pedesaan tidak mampu keluar dari kubangan kemiskinan. Kemiskinan di pedesaan tampaknya sudah melembaga. Padahal, sumber daya alamnya (SDA) pedesaan jauh lebih banyak dari SDA perkotaan. Tenaga kerja juga berlimpah. Secara kalkulasi ekonomi, harga pokok produksi (HPP) sebuah produk di pedesaan mustinya jauh lebih murah dibanding HPP di perkotaan.

Masyarakat sekitar sentra ekonomi juga seharusnya menikmati tetesan kegiatan ekonomis tadi. Infrastruktur jalan, jembatan, sekolah, dan rumah sakit seharusnya ikut bertambah. Perekonomian dan kesejahteran masyarakat pedesaan semustinya turut merangkak naik pula. Kenyataannya, data BPS tahun 2012 menyebutkan 26% penduduk Indonesia tergolong miskin dan mayoritas tinggal di pedesaan. Artinya ada yang salah dengan pembangunan desa selama ini.

Pertama, pembangunan desa di Indonesia menggunakan konsep one policy-fit for all, satu model kebijakan diberlakukan ke semua desa. Padahal desa adalah sebuah entitas unik. Unik potensi SDA-nya, sumber daya manusia (SDM), budaya, bahasa, dan permasalahannya (hal 47).

Kedua, rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan masih dominannya keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan pembangunan desa (hal. 47). Pemerintahan pusat memperlakukan dirinya sebagai tuan besar sementara desa sebagai budak. Pemerintah selaku subjek dan desa sebagai objek. Padahal pihak yang paling mengetahui masalah, potensi, dan kebutuhan desa adalah masyarakat desa itu sendiri. Bukan pejabat di kecamatan, kabupaten, provinsi apalagi Jakarta.

Aparat desa lebih banyak memainkan perannya sebagai perpanjangan tangan kebijakan pusat. Birokrasi desa hanya bekerja sebagai formalitas saja dan jauh dari harapan untuk membangun desanya (hal. 31). Pejabat desa lebih berfungsi sebagai kelengkapan administratif-formalitas. Tidak ada inovasi, gebrakan, dan umpan-balik dari desa karena segalanya telah dikendalikan dari pusat pembuat kebijakan. Partisipasi, masukan, ataupun keluh kesah masyarakat desa dikubur dalam-dalam. Lantaran berkedudukan sebagai objek, bawahan, dan budak, desa terus ditindas secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Kehadiran Gerdema (Gerakan Desa Membangun) yang digagas DR. Yansen TP., M.Si dan dibukukan dalam Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyatmenjadi angin segar karena ia menekankan pada keterlibatan aktif masyarakat desa. Bukan pejabat pemerintah yang menentukan desa tetapi masyarakat desa beserta aparatnya. Jadi kata kuncinya adalah partisipasi dan kemandirian yang membuahkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Sebenarnya Gerdema bukan barang baru. Sudah ada konsep serupa tetapi dengan nama beda: rural community development. Menggantikan konsep rural development, rural community development diterapkan Park Chung Hee Presiden Korea Selatan tahun 1970-an lewat Saemaul Undong (The New Community Movement) dan Presiden Tanzania Julius Nyerere melalui program Ujamaa Villages. Rural community development memiliki banyak sinonim: community capacity building, social capital formation, community economic development (CED), community driven development (CDD), Asset Based Community Development (ABCD) dan lainnya. (hal. xiv)

Kalau begitu, apa yang membedakan Gerdema dengan gerakan-gerakan sebelumnya? Gerdema bukanlah sebuah gerakan fisikal tetapi sebuah revolusi sistem nilai/perilaku (attitude set), mind set, dan culture set (hal. 75) mulai dari masyarakat paling bawah, aparat desa, pegawai kecamatan, pegawai kabupaten, birokrat pemerintahan (PNS), pelaku ekonomi dan wiraswasta, dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

Gerdema juga menitikberatkan partisipasi penuh, total, dan menyeluruh: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Masyarakat yang mengetahui masalah dan kebutuhannya, masyarakat yang mencarikan solusi dan membangun desanya. Masyarakat pula yang menuai hasil pembangunan, kerja keras, dan jerih payah mereka secara adil dan merata.

Alur berpikir buku ini terlihat runtut. Selain visi Kabupaten Malinau, Yansen juga memaparkan 10 misi pembangunan Kabupaten Malinau yang diperas menjadi 4 pilar utama pembangunan Malinau (infrastruktur daerah, sumber daya manusia, ekonomi daerah melalui ekonomi kerakyatan, dan sektor kepemerintahan (hal. 29).

Selain 4 pilar, misi Kabupaten Malinau juga ditajamkan dalam 3 komitmen (Malinau sebagai kabupaten pariwisata, pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi, dan RSUD sebagai rumah sakit rujukan). Anehnya, Yansen tidak melengkapinya dengan pembangun sektor pendidikan. Padahal, pendidikan adalah perangkat penting yang memampukan perubahan dan kemajuan komunitas (desa, negara).

Yansen juga memaparkan mekanisme perencanaan Gerdema (Pra-Musrenbangdes > Musrenbangdes > Musrenbangcam > Musrenbang Kabupaten > Fungsi pengawasan > Umpan balik hasil pengawasan,hal 149-155), pelaksanaan keuangan, dan pengawasan dana.

Untuk menakar berhasil tidaknya Gerdema, Anda dapat menakarnya dengan 13 nilai ideal (indikator): dinamisasi partisipasi masyarakat, perkembangan demokrasi desa, dinamisasi kepemimpinan, transparansi, efisiensi, efektivitas, budaya swadaya, pemberdayaan, keberpihakan kepada masyarakat miskin, inovasi, sektor produksi, perilaku bertanggung jawab stakeholder dan masyarakat desa, prinsip-nilai keadilan. (hal 136-146)

Kelebihan Buku Ini?

Saya menyukai sampulnya karena jauh dari ilustrasi/gambar birokratis: seorang kepala daerah berjabatan di kegiatan seremonial, beragam foto bangunan pemerintah, dan sejenisnya. Yansen mengusung pesan sederhana tetapi berkelas: seekor ulat bergelayutan pada setangkai bunga berubah menjadi kepompong dan akhirnya lahirlah kupu-kupu cantik.

Sebelum Gerdema, masyarakat tak ubahnya seekor ulat. Yang ada dalam pikiran seekor ulat adalah makan, makan, makan, dan nafsu untuk berkuasa. Gerdema mengajak masyarakat lapisan atas hingga paling bawah untuk menanggalkan sifat-sifat tadi. Jabatan dan kedudukan adalah amanah dan kedaulatan ada di tangan masyarakat.

Selanjutnya Gerdema mengajak masyarakat menjadi kepompong. Kepombong biasa bertapa, berpuasa, menahan nafsu terus berkuasa, dan menahan godaan untuk mengendalikan proyek-proyek pembangunan. Kepompong belajar legowo bahwa saatnya rakyat mengambil peran, menjadi subjek. Masyarakat Malinau tidak perlu bersusah payah mencari makan di luar Malinau karena kekayaan alamnya berlimpah. Jika kepompong memaksakan diri keluar dari sarang, ia berisiko dicaplok burung/ayam. Kekayaan alam Malinau mendatangkan kesejahteraan bila masyarakat mengelolanya secara maksimal dan senantiasa berwawasan pada lingkungan.

Ketika mampu mengalahkan hawa nafsu, itulah kupu-kupu. Kupu-kupu hanya makan sari-sari bunga. Manusia kupu-kupu makan makanan halal-berkualitas. Hidupnya membahagiakan orang, tindak-tanduk dan perilakunya menenteramkan, ucapannya menyejukkan, pikiran-cara pandang jauh ke depan.

Kedua, Yansen berhasil menunjukkan kepada Indonesia bahwa menjaga dan mempertahankan daerah perbatasan tidak semata mengandalkan kekuatan fisik dan senjata. Menjaga keutuhan wilayah NKRI adalah dengan pemerataan hasil pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan mendongkrak partisipasi rakyat. Karena merasa diperhatikan, dilibatkan, dan disejahterakan, mereka menjadi benteng pertahanan alami.

Kekurangannya?

Buku ini menceritakan banyak hal tentang keberhasilan Gerdema dalam membangun Kabupaten Malinau. Sejumlah data digelar: angka kemiskinan di Kabupaten Malinau turun, Pemkab Malinau melimpahkan 31 kewenangan kepada setiap kecamatan dan menyerahkan 33 urusan kepada pemerintah desa (hal 75, hal 115-133), Gerdema menyabet Innovative Government Award 2013 (hal 57), dan APBD Malinau kini dirancang berdasarkan APBDes. Itu hak Yansen dan sah-sah saja.

Sayang, saya belum menemukan ‘sisi lain’ misalnya seputar suka duka, kendala, dan masalah dalam implementasi Gerdema. Jika Kabupaten Malinau ibarat sebuah mesin, Yansen baru menyuguhkan user guides, belum menyajikan ‘troubleshooting’.

1. bagaimana Yansen memecahkan gesekan ekonomi, sosial, budaya, dan agama di tingkat akar rumput. Kesenjangan ekonomi, keragaman suku, organisasi keagamaan, dan ikatan kekerabatan mudah sekali melemahkan bahkan melambatkan lajunya roda pembangunan. Tidak sedikit contoh kelompok masyarakat berusaha melemahkan kepemimpinan gara-gara kepala desa tidak berasal dari kerabatnya atau tidak satu organisasi keagamaan.

Di samping itu, mayoritas masyarakat desa masih menganggap kepala desa adalah jabatan prestisius dan kesempatan ‘mengembalikan modal’. Pasalnya, untuk memenangkan kursi kepala desa, mereka membutuhkan dana tidak sedikit. Tidak perlu heran bila transparansi menjadi budaya mahal di pedesaan.

Di tingkat birokrat pasti muncul kasak-kusuk, keluh kesah atau komentar terhadap perubahan ini. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Biasanya birokrat mengontrol proyek dan keuangan hingga ke tingkat desa. Kehadiran Gerdema memaksa birokrat melepaskan segenap wewenangnya ke masyarakat desa. Sebelumnya mereka adalah big bos, kini mereka hanyalah fasilitator dan pengevaluasi. Mereka tidak dapat bermain mata, mengorupsi, dan menyelewengkan jabatan.

2. Berkali-kali buku ini menekankan keberhasilan Gerdema tidak lepas dari kepiawaian sang pemimpin (Yansen). Tidak saja pemimpin bervisi jauh ke depan tetapi juga menggulirkan gebrakan berkelas-aplikatif. Yansen menandaskan keberhasilan Gerdema menuntut pemimpin yang tidak hanya pintar berinovasi tetapi juga mengantongi kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, ekonomi, dan nasional kebangsaan (hal 90-98).

Tidak perlu disangsikan Yansen memiliki 5 kualitas tadi. Buktinya Gerdema menuai banyak pujian, sanjungan, dan tepuk tangan. Persoalannya sekarang adalah apakah etos, keyakinan, dan konsisten yang dikembangbiakkan Gerdema akan tetap terjaga ketika terjadi suksesi kepemimpinan Yansen? Pasalnya, Indonesia erat dengan tradisi: ganti kepemimpinan, ganti kebijakan (hal. xviii). Agar dikatakan bekerja dan sukses, pemimpin baru ‘membunuh’ kebijakan kepemimpinan sebelumnya. Padahal belum tentu kebijakan pemimpin baru lebih baik dari sebelumnya.

Bagaimana Yansen dan Gerdema menyiapkan kepemimpinan lapis kedua (second line)? Indonesia punya presiden hebat Ir Soekarno. Sayang Soekarno melupakan lapis kedua tadi. Akibatnya, selepas kepemimpinan proklamator itu, Indonesia terus terkapar di percaturan global. Saya khawatir ketika Yansen tidak lagi memimpin Kabupaten Malinau, Gerdema tinggal nama.

Ingat kata-kata Yansen: secara moral kepemimpinan menjadi landasan, roh, dan semangat hidup organisasi; secara teknis merupakan filter, perekat, dan pedoman organisasi. Pemimpin adalah peluang dan masa depan organisasi (hal. 90).

Saya berharap Yansen sudi berbagi dan menjawab dua pertanyaan tadi pada buku berikutnya sehingga referensi Gerdema semakin lengkap dan utuh. Judulnya boleh: Revolusi dari Desa Jilid 2: Gerdema Behind The News. Dengan begitu, Yansen menggelar kembali lomba resensi semacam ini. Hehehehehe….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline