Dalam islam akad jual beli disebut dengan bai'. Akad jual beli atau bai' memiliki kesamaan dengan akad jual beli pada umumnya hanya saja ada rukun dan syarat yang harus ditaati yang sesuai dengan prinsip syariah. Al wafa' menurut terminologi berarti menepati. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bai' al-wafa' adalah jual beli dengan janji jika barang/objeknya bisa dibeli kembali oleh penjual sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan.
Pada masa Rasulullah Bai' al wafa' belum ada karena pada saat itu orang-orang dapat dengan ikhlas memberikan pinjaman uang (Al Qard Hasan). Bai' al-wafa' pertama kali populer pada abad pertengahan 4 hijriyah dan awal abad 5 hijriyah yang dibahas dalam oleh ulama-ulama Hanafiyah. Bai al wafa' pertama kali dipopulerkan di Balkh dan Bukhara. Disitu masyarakat yang kaya tidak mau meminjamkan uangnya kepada masyarakat yang membutuhkan pinjaman dengan tanpa imbalan atau tidak ada keuntungan, maka agar terhindar dari riba tercetuslah akad ini. Ibnu Nujaim menyatakan jual beli hukumnya boleh atau mubah sedangkan menepati janji hukumnya wajib, terkadang juga wajib (menepati) janji untuk kebutuhan manusia dengan menghindari riba
Selanjutnya bagaimana hukum bai' al wafa'? Hukum suata akad adalah hal yang sangat penting untuk dibahas, hukum menjadi tolak ukur kebolehan menggunakan akad atau tidak. Mazhab Syafi'iyah memberi pendapat stentang Bai' al wafa: Ulama Mutaqaddimin dari kalangan Mazhab Al-Syafi'iyah berbeda pendapat tentang hukum ba'i al-wafa'. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa bai' al-wafa' hukumnya fasid, apabila syarat berkewajiban untuk mengembalikan objek akad (barang dan uang) adalah unsur lain yang menyertai akad, atau pembeli dan penjual masih berada pada majelis akad atau pada masa tenggang waktu khiyar syarath. Adapun ulama kalangan Mazhab Al-Syafi'iyah muta'akhirin berpendapat bahwa ba'i al-wafa' diperbolehkan menurut hukum, pembeli boleh mengambil manfaat harta yang dibelinya sesuai kehendaknya. Sebab akad jual beli ini telah berlaku lama dalam masyarakat secara umum, karena cara bermu'amalah seperti ini kenyataannya dibutuhkan masyarakat dan agar terhindar dari riba'.
Sedangkan berdasarkan hukum internasional yang dikemukakan Lembaga fatwa Internasional sebagaimana yang diputuskan OKI (Lembaga Fiqih Internasional) Nomor 66 Tahun 2012, menjatuhkan putusan bahwa akad ba'i al-wafa' termasuk salah satu akad tahayul (rekayasa) untuk menghindari riba, dan hukumnya tidak sah secara hukum menurut mayoritas ulama.
Di Indonesia sendiri bai' al-Wafa' ada dalam fatwa DSN MUI. Dalam fatwa itu tidak disebutkan secara spesifik tentang bai' al wafa namun dalam objek jual beli SBS (Surat Berharga Syariah) yang memiliki kesamaan dengan akad bai' al wafa. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), bai' al-wafa' diakui secara sah dan dicantumkan pada pasal 20 dan pasal 112 s/d 115. KHES memberikan pengertian bai' al-wafa sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (42)
Gadai adat di Indonesia
Gadai dalam pengertian umum adalah meminjamkan uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. Jadi objek gadai dijadikan jaminan hutang. Hal ini mirip dengan akad Rahn dalam fiqih, hanya saja pada akad Rahn barang jaminan gadai tidak boleh dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman (Murtahin) , pemberi pinjaman hanya dapat menahan sebagai jaminan namun tidak bisa dimanfaatkan, pemberi pinjaman hanya diberikan uang untuk biaya-biaya pemeliharaan barang jaminan. Pemberi pinjaman diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil manfaat harta jaminan berupa binatang peliharaan (benda bergerak). Oleh karena itu al-murtahin berhak untuk memeras susunya, menungganginya dan menyewakannya dalam batasaan sesuai kebutuhan makan dan biaya pemeliharaan binatang tersebut.
Seperti yang kita ketahui di atas dalam gadai, harta gadai tidak boleh dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman karena hal ini bisa menimbulkan riba Ketika benda gadai termasuk benda bergerak, dari sisi hukum tidak ditemukan kesulitan, karena benda tersebut secara langsung dapat diserahkan kepada al-murtahin untuk disimpan dan diamankan serta biaya pemeliharaannya dibebankan kepada al-rahin atau berdasarkan kesepakatan bersama. Persoalan hukum yang menjadi permasalahan, ketika benda gadai termasuk benda tidak bergerak atau benda tetap seperti tanah persawahan, perkebunan, rumah kediaman dan lain-lain. Dalam gadai adat benda tetap tersebut (terutama dalam gadai sawah atau tanah) dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemegang gadai tanpa harus ada izin dari pemilik tanah itu.
Tanah yang menjadi jaminan tidak bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman (Murtahin) ia hanya bisa menahan kepemilikan sawah tersebut. Sedangkan orang yang menggadaikan hanya berstatus pemilik sawahnya dengan tanpa memiliki kewenangan untuk mengambil manfaat dari sawah tersebut. Oleh karena itu sawah tersebut akan menjadi tanah yang dibiarkan terlantar yang semestinya bermanfaat baik untuk tujuan pribadi maupun sosial. Hal ini akan mudah jika tanah tersebut memiliki sertifikat memiliki namun nyatanya di Indonesia masih banyak yang belum memiliki hak milik dan juga sedikitnya orang yang mau meminjamkan pinjaman tanpa mendapatkan keuntungan lain (Al qard Hasan). Untuk itu solusi dari gadai ini adalah beralih pada akad bai' al-wafa' karena secara operasional transaksi yang digunakan lebih mirip dengan bai' al-wafa' seperti yang dijelaskan diatas daripada dengan akad rahn, bilapun disamakan dengan rahn maka akad gadai adat di Indonesia masih terdapat unsur riba didalamnya. Dengan menggunakan skema akad bai' al wafa maka hukumnya pembeli halal mengelola dan memanfaatkan tanah yang telah dibelinya dan pembeli terikat dengan hak tebus penjual ketika ia mengembalikan uangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H