Beberapa waktu lalu saya dapati seorang teman menangis tersedu sembari melihat sebuah konten di media sosial.
Usut punya usut, ternyata ia merasa sedih melihat konten seorang perempuan yang terpaksa bercerai karena suaminya selingkuh.
Kehidupan perempuan itu pun diliputi dengan kepedihan pasca bercerai, mulai dari kesulitan ekonomi, kehilangan kepercayaan diri hingga dipaksa harus mandiri untuk membesarkan anak-anaknya.
Lantas, teman saya berkata pada suaminya, "Kamu jangan kayak gini ya pa...jangan selingkuh...jangan ceraikan aku...hiksss..."
Sang suami pun terbahak, pun denganku yang melihat ungkapan hati temanku, "'Kok jadi aku sih ?!" Protes suaminya
Fenomena seperti ini pasti tidak sedikit yang mengalami. Sedikit banyak isi konten akan mengintervensi diri penontonnya terhadap lingkungan di sekitarnya.
Jika kontennya bahagia pasti akan terucap "kamu kok gak pernah giniin aku sih pa ?" atau "lihat ni pa...kalau ikhlas belanjain istri pasti rezekinya lancar..."
Nah, jika kontennya sedih, kira-kira seperti yang teman saya ucapkan tadi. Atau kalau yang lebih ekstrim akan bernada ancaman, seperti "Awas ya kalau kamu selingkuh! Udah pasti habis kamu aku buat!"
Luar biasa ya dampak intervensi sebuah konten terhadap keharmonisan rumah tangga. Meski kelihatan remeh, tapi ini bisa jadi bahaya yang mengancam keutuhan rumah tangga jika tidak disikapi dengan bijak.
Bayangkan, jika seorang istri tiba-tiba menuduh suaminya berselingkuh hanya karena memiliki ciri-ciri sikap yang mirip dengan di konten. Sementara sang suami dalam keadaan lelah setelah bekerja, apa tidak memicu terjadinya pertengkaran?