Lihat ke Halaman Asli

Workshop Cerpen Kompas Bali 2015

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14326332941706067293

[caption id="attachment_420428" align="aligncenter" width="602" caption="Ilustrasi cerpen-cerpen Harian Kompas (http://cerpen.print.kompas.com/#workshop)"][/caption]

Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga mengikuti acara Workshop Cerpen Kompas 2015. Saya beserta 39 peserta dari Jatim, Bali, dan Nusa Tenggara mengikuti workshop di Bentara Budaya Bali tanggal 22 Mei 2015 dengan pembicara cerpenis besar Profesor Budi Darma dan Gde Aryantha Soetama. Mereka adalah sastrawan senior yang telah mendapatkan banyak penghargaan sastra dari masa saya masih bayi dan nama mereka tak pernah absen muncul di kumpulan cerpen pilihan Kompas tiap tahun.

Sebagai peserta dari luar kota, saya bersyukur sekali mendapatkan fasilitas ekstra penjemputan dari terminal ke lokasi seminar dan penginapan dua malam yang cukup memadai dan gratis pula. Para panitianya benar-benar bekerja layaknya profesional. Padahal kebanyakan dari mereka masih mahasiswa, lho. So charming ^_^



1432622419253490980

Budi Darma dan Teori Menulis

Budi Darma mengawali seminarnya dengan mengutip kalimat Stephen King, penulis novel horor amerika. “All theory of writing books are bullshit.” Intinya (secara tersirat) adalah, jangan minder atau takut nulis cerpen untuk koran (terutama kompas ^_^).

Budi Darma mengulas beberapa cerpenis Indonesia dan dunia yang dianggap memberikan landasan bagus dalam dunia penulisan. Yang pertama adalah Soeman Hs yang memelopori cerpen koran yang singkat, menghibur, sekaligus memberikan pesan dalam kepada pembacanya. Senada dengan Soeman Hs, hakikat cerpen bagi Somerset Maugham haruslah singkat, padat, judul menarik, dan plot berkembang dengan lancar dan menarik pembaca untuk mengetahui apa yang terjadi seterusnya dan seterusnya. Sedangkan Edgar Alan Poe meyakini bahwa cerpen harus memberikan efek teror dan horor pada pembacanya. Aliran ini di Indonesia kita kenal lekat dalam tulisan-tulisan Putu Wijaya.

Meminjam pemikiran para pakar behavioursm: Pavlov dan JB Watson, Budi Darma mengatakan bahwa seseorang bisa dikondisikan menjadi apa saja atau siapa saja. Termasuk menjadi pengarang. Tidak perlu bakat alam untuk bisa menulis, yang penting membiasakan diri menulis. Proses menulis di dalamnya termasuk kegiatan berkelana, menganalisa, dan tidak berhenti merevisi tulisan-tulisan. Sesungguhnya seorang penulis baru dianggap sedang bekerja saat dia melakukan proses revisi sehingga menghasilkan karya matang yang bisa dinikmati dan dikenang pembacanya sepanjang masa.

Menambahkan cerita yang patut kita renungkan dari Gde Aryantha Soetama. Beliau bercerita tentang seorang pelukis Bali yang bernama Lempat. Seniman tersebut ketika ditanya para wartawan mengenai lukisan-lukisannya, menjawab, “Sebenarnya lukisan-lukisan yang saya hasilkan ini belum selesai. Selalu saja ada inspirasi yang membuat saya terus-menerus memperbaiki lukisan saya.” Suasana hening merinding saat Gde Aryantha mengakhiri ceritanya, “Saat pelukis Bali tersebut menyatakan bahwa semua lukisannya telah ia selesaikan, beberapa waktu kemudian pelukis besar tersebut wafat.”

Gde Aryantha Soetama dan Pengembaraan

Gde Aryantha menekankan pentingnya berkelana bagi seorang penulis. Baik berkelana secara fisik maupun pikiran. Pengembaraan akan membuat sebuah tulisan menjadi unik dan otentik. Sebuah karya yang unik dan otentik tidak hanya menghibur pembaca namun juga terkenang sepanjang masa, kisahnya diulang dan dikisahkan dalam beragam versi lain di luar jamannya. Contohnya kisah Mahabaratha yang memiliki kekuatan dalam hal karakter, nilai-nilai kehidupan, dan benang merahnya. Benang merah cerita adalah seperti garis takdir. Sesuatu yang muncul di depan cerita akan muncul lagi di belakang.

Sastra lokal daerah memiliki kekuatan dalam hal orisinalitas. Orang Bali jika menulis budaya lokal Bali tentu akan memiliki tingkat orisinalitas tinggi dibanding orang luar Bali. Sebab orang lokal melihat tidak hanya apa yang dipermukaan namun juga nilai-nilai kebudayaan yang tidak dirasa orang luar. Oleh sebab itu gali kekuatan, rasa, martabat, budaya sendiri untuk mendapatkan orisinalitas karya.

Mengenai orisinalitas, Budi Darma menambahkan. Untuk menjadi penulis yang memiliki gaya bercerita yang orisinal caranya dengan mencontoh, mencoba dan menganalisa gaya penulisan-penulisan pengarang besar. Itu cara yang dilakukan Ernest Hemingway. Para kritikus mengakui bahwa Hemingway memiliki gaya penulisan sendiri yang unik. Seperti dalam cerpen A Mountain Like A White Elephant. Hemingway menggunakan sedikit narasi dan menambah kekuatan dialog untuk membangun cerita.

Praktek Mencari Ide dan Menulis Cerpen

Setelah mengisi kepala dengan spirit penulisan kedua maestro cerpen Indonesia, kegiatan workshop dilanjutkan dengan praktek berkelana mencari ide dan menuliskannya. Seluruh peserta workshop diajak berkelana ke Pantai Sanur bersama Pak Gde Aryantha dan Ibu Myrna Ratna salah satu editor Kompas. Para peserta dibebaskan melakukan pengembaraan, baik secara fisik maupun imaji segala aktivitas di sekeliling pantai seama 30 menit. 30 menit berikutnya, para peserta workshop menuangkan semua imajinasinya di laptop masing-masing.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline