Upaya resiliensi perempuan Batak pasca kehilangan suami, hadir di panggung teater. Inilah potret perjuangan seorang ibu yang gigih menghadapi kepedihan, dalam upayanya melanjutkan hidup. Ia terjerumus dalam keputusan menikah lagi akibat dorongan stigma sosial dan tekanan budaya. Ia mengabaikan hak anak-anak untuk mengetahui keputusan penting keluarga, yang mengakibatkan hancurnya hubungan mereka.
Festival Kelas Titimangsa baru saja digelar dengan menghadirkan 10 pertunjukan, pada 2 dan 3 Desember 2023, di Gedung Pertunjukan Bulungan. Acara ini sebagai agenda puncak dari rangkaian kegiatan kelas seputar seni pertunjukan, yang telah diadakan Titimangsa setahun terakhir. Salah satu yang menarik perhatian, yaitu monolog "Dainang: Anakku Naburju", karya peserta kelas naskah Titimangsa, Fera Engel, dan Tiyni Saftiani. Karakter diperankan oleh peserta kelas akting, Fransisca Desy Ariani, dan disutradarai oleh Iswadi Pratama sebagai pengampu kelas akting.
Kecacatan Komunikasi
Alunan suara suling menjadi pembuka pertunjukan. Suasana yang mulanya hening disusul perlahan dengan masuknya karakter Dainang. Ia mengenakan kebaya hitam, dengan kain Ulos Sibolang. Sebuah simbol kuat yang langsung menggambarkan suasana berduka. Kematian Togar, suaminya, telah meninggalkan banyak utang yang membuat hidup Dainang terbengkalai. Ia memutuskan menitipkan dua anaknya yang masih kecil, Butet dan Ucok pada kerabat, agar hidup mereka lebih sejahtera.
Dainang yang menjanda di usia muda dan penuh utang, didesak keluarga untuk menikah lagi agar hidupnya ada yang menjamin. Dengan terpaksa, dan tanpa berbicara pada anak-anaknya, Dainang pun menikah lagi. Namun nahas, suami baru tak menerima kedua anaknya. Dainang selalu menganggap bahwa anak kecil tak perlu ikut campur urusan orang dewasa. Ia merasa cukuplah ia yang menyelesaikan segala permasalahan keluarga tanpa harus menyampaikan yang sesungguhnya. Keputusan itu justru memicu kebencian anak-anaknya
"Apa pula anak kecil yang tak tahu apa-apa itu. Tak perlulah ikut campur urusan orang dewasa. Inang lebih sering memendamnya sendiri sampai hancur sendiri Inang ini," begitulah cuplikan monolog yang terdengar.
Membangun pola komunikasi yang terbuka dengan anggota keluarga, terutama anak, memang bukan tugas yang ringan. Mengapa budaya di Indonesia tampaknya masih saja enggan untuk mengungkapkan pendapat secara langsung? Padahal, komunikasi antara anak dan orang tua memiliki dampak signifikan pada perkembangan anak. Dalam ranah psikologi, istilah yang belakangan populer yakni inner child, mengacu pada serangkaian peristiwa masa kecil, baik atau buruk, yang dapat membentuk kepribadian. Dampaknya dapat mempengaruhi cara bersikap saat merespons masalah, hingga menciptakan efek destruktif.
“Anak kecil juga boleh bersuara, bisa kok dikasih tau permasalahan yang dihadapi orang tua. Jangan karena masih kecil, anak dianggap tak mesti tahu apa-apa. Justru anak harus terus dirangkul meski metodenya berbeda-beda. Ini agar tak membuat salah paham hingga membuat anak akhirnya tidak memahami makna perjuangan, dan cinta yang diberi orang tuanya,” ujar Tiyni, si penulis naskah saat ditemui.
Resistensi Seorang Ibu
Monolog ini dengan jelas menggambarkan realitas perempuan dalam konteks budaya, yang praktiknya masih sering terjadi. Subordinasi yang kuat tergambar saat Dainang dinilai tak mampu menjamin hidupnya sendiri, dan anak-anaknya sehingga diminta menikah. Meski mulanya Dainang tak kuasa untuk memberi penolakan pada kelas dominan, namun kemudian kekuatan sejati terlihat dari keteguhan hatinya. Ia melawan dengan tekad yang kuat, berjuang mencari penghasilan sendiri dengan belajar menenun Ulos. Ia menolak bergantung pada suami baru yang tak dicintainya.
Kebencian yang diberi anak-anaknya juga tak lekas membuat Dainang menghindari penderitaan. Ia justru terus meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Menerima, bertahan, dan senantiasa mendoakan. Dainang menunjukkan potret ibu yang inspiratif dalam menjaga semangat dan cinta kasihnya, meski dalam kesulitan yang tiada henti.
Sisca sebagai aktor juga menyampaikan kekaguman serupa. “Dainang ini persisten. Kalau dia nggak punya persistensi, dia akan menerima keadaan begitu saja karena nggak punya skills. Semangatnya untuk berubah tinggi, sampai berbuah bisa menghasilkan sesuatu,” kata Sisca saat ditemui di sesi latihan kelas akting Titimangsa.