Lihat ke Halaman Asli

Santet

Diperbarui: 4 April 2017   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kali ini, saya ingin menulis tentang “santet” kata yang membuat perut saya kaku dan merinding, ngeri yang hampir merenggut nyawa ayah saya. Padahal ayah adalah seorang yang sabar, nrimo, rajin ibadah dan hidupnya tak pernah neko neko sayangnya ada saja yang iri karena melihat Abah telah sukses mendidik anak - anaknya. Tanpa pernah menjadi benalu orang lain. Entah sukses yang bagaimana menurut mereka, padahal kehidupan kami biasa saja.

Penyakit iri yang telah membutakan mata, kenapa pula harus mengirim santet untuk menjatuhkan abah, kenapa pula tak mencari tahu bagaimana kami bekerja sedangkan orangtua hanyalah mendoakan kami. Karena mungkin kami giat diiringi dengan doa orang tua yang mustajab, sehingga Allah memberikan kemudahan.

Kalau saya tak melihat sendiri, saya tidak akan pernah bisa bercerita bagaimana jahatnya santet itu. Orang yang diserang akan kesakitan. Sakitnya juga pindah pindah, kadang di perut, kaki, kepala bila di periksakan ke dokter, penyakitnya tidak ketemu. Aneh bukan?

Waktu itu, saya tinggal diBali, Abah sering mengunjungi saya karena hubungan kami sangat dekat. Jadi mudah kangen, meskipun sering bertelepon namun sepertinya nggak enak kalau tak ketemu langsung. Apalagi saya memiliki bayi yang lagi lucu lucunya. Abah tak pernah cerita kalau Abah kena santet orang. Tiap kali saya menelpon abah atau ibu selalu menutup- nutupi dengan tujuan supaya saya enggak kepikiran.

Namun sore itu, saya melihat semuanya langsung. Waktu saya menyapu kamar Abah, tercium bau telur busuk yang sangat menyengat, perut saya sampai mual. Key bersama Abah sedang duduk diteras. Saya cari cari sumber bau itu, sampai masuk ke kolong tempat tidur dan belakang lemari tapi tak ada. Wajah Abah pucat, ketika saya Tanya..beliau hanya jawab, ora popo nduk, namun saya tak bisa di bohongi. Saya perhatikan Abah, kenapa perutnya makin besar saja, seperti balon yang ditiup. Dan dalam tempo beberapa jam saja perut Abah sudah seperti perempuan hamil kembar 9 bulan. Urat-uratnya kelihatan. Saya dan suami panic, tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya menemani abah dikamar, beliau mengaduh kesakitan. Sedangkan suami sibuk menelpon dan atas saran temen suami pergi keluar kota untuk mencari obat. Hari itu suami langsung berangkat bersama temannya.

Saya inget betul, malam itu terasa begitu panjang, dan suasana begitu sepi mencekam. Apalagi tak ada tetangga dikiri kanan. Sehabis maghrib, hawa rumah seperti panas, diatas genting terdengar seperti suara ledakan keras di sertai seperti suara pasir yang dilemparkan. Saya coba check keluar namun tak ada apa-apa. Mungkin karena suasana tak nyaman, Key menjadi begitu rewel, sedangkan kondisi abah makin miris, nafasnya terengah rengah. Kasur yang Abah tiduri terasa bergejolak. Saya yang berusaha untuk bersikap tenang, mulai dilanda frustasi. Akhirnya pertahanan saya jebol. Saya menangis, delosor dilantai disamping tempat tidur Abah. Sambil merutuki orang yang berbuat jahat pada Abah. Dalam kesakitan, Abah menasehati saya supaya saya tetap sabar dan takwakal PADANYA. Beliau meminta saya mengambil wudhu dan menyuruh saya mengaji.

“Jangan takut nduk, semua milik Allah, bila Abah masih berumur panjang, Abah pasti sembuh” Key lalu saya tidurkan disamping Abah, melihat mamanya menangis key terdiam. Mungkin dia mengerti keadaan saya.

Saya mulai mengaji sambil mengusap-ngusap perut Abah. Saya sudah pasrahkan semua PADANYA. Syukur Alhamdulillah, perlahan lahan perut Abah mulai kempis, beliau tertidur. Esok harinya suami datang sambil membawa air untuk abah, yang konon katanya bisa menghilangkan santet. Benar tidaknya saya tidak tahu. Karena sepulangnya abah, Abah masih di serang santet. Kakak bercerita abah pernah memuntahkan pecahan kaca, paku yang karatan,dan kecoak berwarna putih yang membuat saya bergidik ngeri.

Hebatnya abah tidak pernah dendam, beliau sabar dan pasrah. Beliau semakin khusyuk menjalankan ibadahnya. Saya semakin salut dengan beliau. I love you Abah, semoga abah tenang disana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline