Lihat ke Halaman Asli

Diary Seorang Sahabat: Anakku Cacat, Suamiku Tega Menceraikanku

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayi perempuan cantik itu, tergeletak tak berdaya diatas kasur tipis. Ibunya menangis menceritakan kisah hidupnya padaku, sedangkan anak lelakinya yang berumur empat tahunan asyik bermain mobil mobilan.

“Mbak Fid, apa yang harus kulakukan mbak. Ibu Mertuaku meminta suamiku menceraikanku karena dia tak suka denganku. Berbagai cara dilakukannya sampai mencekoki suami dengan jampi jampi. Sekarang kami sudah dalam proses perceraian. Aku bingung mbak, anakku masih kecil mereka butuh biaya terutama sibayi yang harus ikut terapi dua hari sekali” katanya sesenggukan. Matanya bengkak dan kuyu karena kebanyakan menangis.

Hati saya teriris sedih, meskipun saya mencoba tak ikut larut dalam kesedihan. Tapi toh sampai saat ini. Saya masih nunut mikir. Kasihan anak-anaknya terutama si bayi, meski usianya sudah menginjak 7 bulan. Tapi belum bisa apa apa, badannya lemas. Hanya Matanya dan senyumnya saja yang merekah tiap saya godain. Lantas saya meminta ijin tuk menggendongnya. Bayi itu diam, menatap mata saya. Hati saya jatuh hati. “kasihan kau nduk, sejak engkau lahir, telingamu selalu mendengar pertengakaran orangtuamu, lemparan piring atau gelas dan berganti ganti baby sitter. Tanpa bisa protes.

Sebagai orang luar, bukan hak saya untuk ikut campur. Meskipun dihati ini ingin sekali mendamaikan mereka supaya tak jadi bercerai. Sungguh!wajah sibayi membayangi saya. Yang bisa saya lakukan hanyalah memberi mereka support supaya kuat menerima ujianNYA dan diberi kesabaran.

Seringkali hubungan menantu perempuan dan ibu mertua tidak berjalan sesuai keinginan. Apalagi bila satu pihak memiliki keinginan untuk mendominasi kehidupan suami. Akhirnya yang ada timbul saling iri, curiga dan tarik menarik. Ibu mertua merasa punya hak untuk mengatur kehidupan anak lelakinya karena beliau sudah melahirkan dan membesarkannya. Sedangkan di pihak istri pinginnya suaminya adalah miliknya yang harus menuruti semua keinginannya.

Bukan sekali dua kali saya mendengar curhat terntang Ibu mertua, yang turut campur dengan kehidupan perkawinan anaknya sampai masalah income suamipun ingin ngelola. Ada yang legowo, ada yang berani, cuek bebek, banyak pula yang mendem jero. Bagus bila para suami ikut jadi penengah antara istri dan ibu. Supaya tak timbul kecemburuan dan hubungan menjadi tak harmonis. Bila dibiarkan berlarut larut, takutnya seperti api dalam sekam. Lama lamaapinya membesar dan membakar semaunya. Perkawinan hancur karena salah satu pihak tak kuat menahan perasaan. Bisa dari pihak suami atau pihak istri. Kasihan anak-anak yang harus jadi korban.

Tak ada persoalan yang tak dapat diselesaikan, bila kita mampu menahan emosi. Ibu mertua juga manusia yang butuh kasih sayang dan cinta. Berilah mereka cinta bukan hujatan. Saya yakin, bagaimana punbencinya beliau pada kita, lambat laun benci itu akan berubah jadi cinta

Saya berdoa, semoga ibu itu diberi jalan keluar yang indah, Semoga juga suaminya sadar dan ingat anak-anaknya terutama sibayi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline