Lihat ke Halaman Asli

Sepasang Mata di Dalam Mimpi

Diperbarui: 6 Februari 2024   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

02:50---kala aku mengecek detak yang mengetuk-ngetuk di atas, seseorang menyebutnya sebagai langit kamar. Waktu yang masih begitu dini untuk berangkat ke pembaringan yang menghubungkan antara dua kemungkinan.


Jika boleh, maka sebentar lagi, sebentar. Aku masih ingin membayangkan beberapa desah ketika aku sedikit menutup mata, tetapi bukan untuk terlelap. O angin, begitu aku memanggil kala dia hadir. Bersyarat menjamu leherku, menggesek di sana pelan-pelan.


Begitu saja, aku tidak pernah berdoa. Tidak pernah memohon sebuah sangakalan cuma-cuma. Seperti aku tahu di mana batas sebuah imajinasi layak dieksekusi. Jadi ketika aku sudah selesai dengan pelepasan yang pertama, aku akan tertidur tanpa membiarkan sengatan kedua. Kembalilah aku pada dua pintu itu ...


Sampai bahkan matahari sejengkal, aku tak akan siap untuk sebuah kematian. Aku tidak suka ruang hampa, tidak suka mawar hitam, tidak suka tangisan-tangisan, tidak suka sebuah sesal, dan kurasa bahkan aku muak berada di sini.


Tetapi memang tiada mudah, ketika sepasang lynx di kejauhan benderang pelan memberi kabar, bahwa jiwaku telah sampai di perbatasan nestapa atau boleh memilih tertidur biasa. Ia tahu, sebab jiwanya lapar.


Manusia cenderung melihat yang jelas, begitu pula dengan diriku. Mata itu, tidak cukup ayu, tidak cukup membuat terpana seperti sebelumnya, tidak lagi memanggil-manggil bagaikan hasrat, tidak lagi ...


Maka di sinilah akhir hayatku, aku luluh oleh sebuah kelemahan di dalam kegelapan, mata lapar yang mendadak bagai menjemput ajal. Aku jadi jatuh cinta, aku ingin menyerahkan ragaku padaku. Bagaimana ...?


Tragedi; aku berserah kepada makhluk yang nyaris dihapus dari realitas. Aku menyelamatkan energi yang telah kehabisan fusi. Tiada kejelasan sebuah imbalan, aku hanya datang dan mendekat secara ikhlas---menyerahkan diriku secara utuh. Aku adalah miliknya mulai detik ini.

***

JJ. Fidela Asa said, "Atheneverse is the boundless world I've created with words. Here, I am a learning Goddes with flexible benchmark."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline