Lihat ke Halaman Asli

Fidel Haman

Guru/Bloger

Istari: Dobrak Sesat Paham, Hadirkan Perubahan!

Diperbarui: 1 April 2023   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu adegan ketika Indira mengajari gadis susianya membaca dan menulis. Dok. SMA Tarsisius 1 

Istari, drama musikal garapan siswa/i SMA Tarsisius 1 patut dibanggakan dan dikenang. Kesuksesannya menuai banyak apresiasi. 

Cerita tentang pementasan itu tentu masih saya ingat. Rasa bangganya masih terlintas hingga kini. Sebab apa yang tersaji adalah hasil keringat para siswa yang menetes berbulan-bulan, dari pagi hingga malam. Salut dan bangga pantas pantas untuk kalian semua.

Untuk menghargai dan mengapresiasi itu, saya dedikasikan tulisan ini untuk mengulasnya sekilas dalam sebuah review sederhana. Sudut pandang review ini bukanlah seorang kritikus atau praktisi seni tetapi dari  seorang penonton, yang kala itu menyaksikannya dari salah satu pojok di barisan para penikmat sajian panggung.
 
Kesan pertama Istari sungguh hidup. Dari sekadar naskah drama, yang ditulis Jeconia A. Bong, siswi kelas XII IPS² dan Jeanette Hauw, siswi kelas XII IPA, kini hidup lewat sebuah pementasan memukau di panggung Miss Tjitjih. Adegan yang "mati" dalam tulisan atau naskah, kini hidup dalam drama musikal di atas panggung. 

Sebulan telah lewat, namun bangganya tak juga lekang, minimal sampai pada saat saya menuangkan rasa bangga ini dalam coretan tak berfedah ini.

Istari adalah teater yang mengisahkan seorang srikandi atau gadis desa yang pemberani. Ia hidup dalam tradisi dan budaya primitif, yang menempatkan kaumnya pada kelas kedua setelah laki-laki. Nama gadis itu Indira. Nama yang keren, bukan?

"Pekerjaan perempuan itu di dapur. Sekolah hanya dikhususkan bagi kaum laki-laki." Kata-kata ini atau yang semacam itu telah lama hidup, tertanam dan mengakar dalam diri orang-orang sezaman Indira. Tidak saja laki-laki, perempuan pun terbius olehnya dan mematikan nalar kritisnya dan lalu menjadi penurut setia.

Indira adalah kekecualian. Ia lahir dengan kesadarannya sendiri. Menurutnya, tidak ada namanya kelas. Baik laki-laki maupun perempuan, semuanya sama dan setara. Maka ia mati-matian agar kesadarannya juga menjadi kesadaran bagi semua, khususnya bagi gadis-gadis desa seumurannya.


Indira, yang diperankan oleh Audrey Daniela kelas XI IPS² itu, berdiri kokoh di atas kesadarannya itu. Ia menolak dominasi kaum laki-laki dan mendobrak tradisi dan alam pikiran yang menempatkan kaumnya lebih rendah dari kaum laki-laki. Ia berjuang agar kedua kaum itu mendapat akses yang sama dalam hal pendidikan.

Seperti kisah pahlawan, perjuangan pasti selalu akan menjumpai tantangan. Indira terpojok oleh kecaman keras kaum laki-laki yang sesat paham tentang kesetaraan. Ia merasa sendirian. Ia gamang, antara harus maju atau mundur. Gadis-gadis seumurannya yang ia harapkan setia berdiri di sampingnya, lari dan meninggalkannya dalam kesendirian.

Sendiri dan tanpa teman ibarat malam sunyi dan pekat seperti dialami Yesus pasca penyangkalan muridNya, si Petrus, sang batu karang itu. Indira bimbang dan hanyut dalam ketakutan,  "apakah harus maju ataukah mundur?" Namun, malam akan berlalu dan sinar pagi akan selalu terbit kembali bagi yang kuat dan berani serta memiliki harapan. Keberanian, kekuatan dan harapan itu dibisikkan lewat sang ibu, yang di perankan penuh keibuan oleh Maria Catherine Aurelia, siswi kelas XII IPS¹.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline