Lihat ke Halaman Asli

Fildzah Hamidah

Mahasiswa Hubungan Internasional

Ancaman Nuklir di Semenanjung Korea Bagi Perdamaian Dunia

Diperbarui: 14 September 2024   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Konflik di Semenanjung Korea bermula dari perpecahan dua negara yang diakibatkan oleh Perang Dunia II dan Perang Korea (1950-1953). Setelah perang, Korea Utara dan Korea Selatan terpisah dengan dua ideologi yang berbeda (ideologi Komunisme di Utara dan ideologi Kapitalisme di Selatan), serta menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan. Ketegangan ini semakin diperburuk dengan adanya intervensi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China.

Sebagai bentuk strategi defensif dan bargaining position, Korea Utara mulai menciptakan dan mengembangkan senjata nuklir. Sejak tahun 2000-an, Korea Utara menunjukkan komitmen untuk mengembangkan senjata nuklir meskipun mendapat tekanan internasional. Program nuklir Korea Utara dimulai sejak akhir 1950-an dan telah mengalami berbagai perkembangan, dari pengayaan uranium hingga uji coba nuklir. Uji coba nuklir pertama Korea Utara yang dilaksanakan pada tahun 2006 menandai awal dari ancaman nyata terhadap keamanan global.

Ancaman nuklir Korea Utara menyebabkan ketegangan yang tinggi, terutama di kawasan Asia Timur. Negara tetangganya, Korea Selatan dan Jepang berada dalam jangkauan potensi serangan senjata nuklir. Dalam hal ini, Korea Selatan dan Jepang memperkuat pertahanan mereka dengan peningkatan sistem pertahanan rudal seperti THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) dan kerjasama militer dengan Amerika Serikat. Ketegangan ini turut memperburuk situasi keamanan di kawasan dan memicu perlombaan senjata regional.

Hingga saat ini, Semenanjung Korea menjadi salah satu titik fokus ketegangan internasional akibat ancaman nuklir yang semakin meningkat di Korea Utara, yang turut mempengaruhi stabilitas keamanan regional dan perdamaian dunia secara keseluruhan. Perkembangan ini menimbulkan fenomena 'Security Dilemma' khususnya di kawasan Asia Timur, dimana masing-masing negara berada dalam posisi saling merespon ancaman yang ada. Misalnya, China merespon dengan mengadakan latihan militer bersama Rusia, sedangkan Korea Selatan dan Jepang membuat kerjasama militer dengan Amerika Serikat. Disisi lain, Korea Utara juga melakukan perjanjian strategis dengan Rusia.

Ketegangan semakin meningkat ketika Korea Utara merespon peningkatan kerjasama nuklir antara Korea Selatan, Jepang, dan AS dengan mengesahkan senjata nuklir dalam konstitusinya dan menyatakan akan mempercepat produksi senjata nuklir untuk menghalangi AS. Selain itu, Korea Utara kembali melakukan uji coba rudal balistik yang beberapa diantaranya dapat menjangkau daratan AS. Hal ini turut mendapat reaksi negatif dari dua negara tetangganya, Korea Selatan dan Jepang. Berdasarkan dinamika yang ada di semenanjung Korea, muncul kekhawatiran bahwa ketidakstabilan geopolitik di kawasan Asia Timur akan memicu persaingan persenjataan nuklir lebih lanjut yang dapat mengancam perdamaian global.

Ancaman nuklir Korea Utara memiliki dampak luas pada keamanan global dengan intervensi negara-negara besar seperti AS, China, dan Rusia. AS dan Rusia berfokus pada sanksi ekonomi dan diplomasi, sementara China, sebagai sekutu dekat Korea Utara, memainkan peran penting dalam negosiasi internasional. Namun, ketegangan yang terus-menerus mempengaruhi stabilitas sistem internasional dan perjanjian non-proliferasi nuklir seperti Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW).

Dalam menangani ancaman ini, berbagai upaya diplomatik untuk mengatasi telah dilakukan, salah satunya yaitu Six Party Talks (melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia). Selain itu, beberapa perjanjian seperti Kesepakatan Nuklir AS-Korea Utara tahun 1994, dan Kesepakatan Pyongyang tahun 2005 telah dilakukan, namun sering kali terhenti akibat pelanggaran dari pihak Korea Utara atau ketidakpuasan internasional. Dalam hal ini, pendekatan multi-track yang melibatkan dialog langsung dan mediasi internasional menjadi kunci untuk mencapai resolusi yang komprehensif.

Terdapat anggapan pula bahwa ancaman yang semakin meningkat seiring dengan uji coba rudal, provokasi militer, atau deklarasi nuklir disebabkan oleh sempit dan terbatasnya konsep keamanan nasional, sehingga kepemilikan ataupun penggunaan senjata nuklir dipandang sebagai sebuah respon yang dibenarkan terhadap ancaman negara lain. Dalam hal ini, maka pihak yang terlibat termasuk Korea Utara, Korea Selatan, dan AS perlu meningkatkan pengendalian diri mereka sendiri untuk menghindari peningkatan ketegangan lebih lanjut.

Retorika keamanan yang digunakan oleh negara-negara bersenjata nuklir, termasuk Korea Utara, membenarkan tindakannya untuk bergantung pada senjata nuklir dan menganggap bahwa pelucutan senjata nuklir tidak dapat direalisasikan hingga situasi keamanan teratasi. Namun dengan dinamika global yang ada hingga saat ini, negara-negara bersenjata nuklir dapat dikatakan mengancam seluruh dunia. Dengan ketidakstabilan keamanan global ini, maka semakin banyak negara-negara yang bergabung dalam Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) atau Perjanjian Larangan Senjata Nuklir. Negara-negara beranggapan bahwa penghapusan total senjata nuklir demi keamanan merupakan sebuah keharusan global dan tanggung jawab semua negara, bukan hanya negara yang memiliki senjata nuklir. Dalam hal ini, seiring berkembangnya ancaman dan resiko nuklir, maka perlu dibangun sebuah norma global yang mendelegitimasi senjata nuklir, salah satunya perjanjian TPNW.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline