Volendam terdiri dari sepuluh geladak atau deck untuk istilah kita. Setapak demi setapak menaiki tangga, kita bisa merasai bahwa setiap deck itulah hamparan kehidupan tengah laut kita. Mau kerja tinggal kerja, mau makan tinggal makan, mau beribadah waktu dan fasilitas tersedia. Geladak Volendam adalah hamparan kehidupan. Di atasnya Manggih tumbuh dengan perasaanya yang semakin lama semakin harus lebih dewasa.
Mulai dari deck bawah untuk wilayah tamu adalah geladak dengan nama Dolphin kemudian Main Deck, Lower Promenade, Upper Promenade, Verandah, Navigation, Lido, Sports dan terakhir Sky Deck.
Manggih menempati kamar B 130. Wilayah kamar yang berada di geladak bawah khusus untuk kru. Satu kamar dihuni 2 crew member. Tempat tidur itu bertingkat dilengkapi dengan korden yang bisa digeser terbuka maupun tertutup. Lampu tempat tidur berada di posisi kepala saat kita rebah. Manggih menempati dipan bawah. Tak ada rasa asing mendiami kamar, karena sudah berpengalaman sebelumnya di Oosterdam. Yaitu salah satu kapal milik perusahaan Holland America Line pula waktu itu. Kalau tidak salah hampir enam belas kapal pesiar yang dimiliki perusahaan tersebut. Kru tidak tentu berada dalam satu armada terus menerus. Ada kalanya berada di Amsterdam, Ryndam, Volendam dan sebagainya.
Dinding kapal itu besi terlapis warna kuning kecoklatan. Dingin jika tersentuh. Pemisah antara Manggih dengan air laut sebelahnya. Meski begitu, tetap ada jeda sekitar lima puluh senti meter yang menjadi penyekat dan peredam suara bising luar lambung kapal. Wilayah kru ada di bawah Dolphin atau wilayah tamu. Bisa dikatakan kita under sea level.
B 130 menjadi tempat peraduan terindah Manggih. Terlebih setelah mendapatkan ritme dalam menghadapi rutinitas. Berlalunya waktu tak terasa hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan menuju garis akhir perjalanan sekontrak. Manggih tumpahkan semua keluh kesah di dalam korden itu. Tak ada yang tahu pikiranya kemana saat rebah. Tak ada yang menyaksikan bagaimana mata hanya menatap bagian bawah dipan atas teman. Suara AC kamar mengalun lembut dengan suara khas yang tiada duanya kecuali di dalam kamarnya kru. Ngeses stabil mengeluarkan angin.
Beberapa hiasan bermagnet tertempel di dinding. Souvenir berbentuk orang-orangan bertuliskan Costa Maya itu dibeli Manggu lalu.
Ditatapnya hiasan-hiasan tersebut. Benaknya mentertawai diri sendiri. "Nah lu mau nempel foto siapa?". "Keluarga? Anak? Boro-boro anak, pacar saja belum fixed". Manggih teringat sekeliling tempat tidur kawan-kawannya. Terlihat seperti majalah dinding yang penuh dengan foto keluarga.
Manggih rebah dalam lamunan. Terkurung di bawah laut. Terbungkus dunia glamour megahnya kapal pesiar. Menjadi kru pesakitan apabila terseret ke nafsu daya rendah, hura-hura dan membunuh waktu. Mengkonsumsi alkohol sekedar untuk melewati harinya. Tidak, tidak seperti itu Manggih menjalani waktunya.
Rentang jauh jarak dengan orang terkasih di Indonesia sana kali ini cukup mengusik hati. Tak dirasakan tahun sebelumnya. Peraduan terindah berupa dipan bertutup korden itulah wahana yang menjadi ruang privat sekedar untuk meneteskan air mata kerinduan. Meneteskan air mata semangat dalam mengejar cita-cita.
Malam itu seperti biasa. Sedikit obrolan tak berhadapan dengan teman yang tengah rebah di dipan atasnya. Dialog menjelang mimpi. Masing-masing telah mematikan lampu tidur. Sesekali Manggih meratapi ujung jempol kakinya yang kapalan, sedikit membangkak karena pengaruh sepatu safety yang terlalu berat diujungnya.