Kota Jakarta jalanan terlihat padat merayap. Lalu lalang kendaraan mirip semut bertebaran. Situasi yang paling tidak sukai Manggih saat di trotoar. Hanya karena kendaraan roda dua yang nyelonong ikut mengambil hak pedistrian. Jalan pintas menurut si pengendara demi segera sampai tujuan. Sangat tidak sabaran. "Ngawur sak udele dewe", gerutu Manggih.
Dia mencoba flash back bagaimana menikmati jalanan di negara orang saat kapal pesiar singgah dulu. Seketika pejalan kaki mau menyeberang, secara otomatis kendaraan akan mengalah memberi kesempatan. Kendaraan akan menunggu sampai si pejalan benar-benar telah sampai di seberang jalan.
Sepulang dari kapal dan sampai di kota sendiri, Manggih adaptasi kembali pada cara selamat menurut kultur pejalan yang sempat beberapa waktu terlupa. Penyesuaian lagi dalam hal menyeberang. Sebab tidak lucu kalau mati konyol gara-gara ulang pengendara kendaraan yang seringkali paling berkuasa di jalanan.
"Go head!", lambaian tangan pengemudi mobil menyilahkan penyeberang. Itu di luar sana.
"Matane, nyebrang ngawur, mau matikah?". Itu pegalaman Manggih di maki pengendara saat hendak mencapi tengah jalan saat menyeberang waktu lalu.
Siang itu terlihat penjaja koran dan beberapa asongan menawarkan dagangan. Begitu rambu lalu lintas menyala merah, bak dikomando serentak mereka mendekat ke kendaraan. Target marketing berjeda nyala rambu lalu lintas. Beberapa trotoar dilewati Manggih penuh dengan tenda kaki lima. Harus ada usaha mencari posisi terbaik agar Manggih tidak terhimpit antara tenda dengan kendaraan roda dua yang masih saja muncul tiba-tiba.
"Pak ... Pocari Sweat kaleng donk, terima kasih!". Ucap Manggih pada si penjual minuman itu. Laki-laki tua penjual itu berkaos hitam bertuliskan FBI. Kaleng minuman dikeluarkan dari cambro es warna merah. Sambil menerimanya Manggih berterimakasih.
"Sama-sama mas". Mengangguk pula bapak itu.
"FBI kalau di Indonesia ternyata jualan minuman dingin di pinggir jalan", pikiran konyol Manggih dalam hati.