Lihat ke Halaman Asli

Ficky Fadhilah

Mahasiswa Aktif di Universitas Padjadjaran

Laki-laki, Toxic Masculinity, dan Pertolongan

Diperbarui: 24 Oktober 2019   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut American Foundation for Suicide Prevention, laki-laki tiga kali lebih rentan untuk bunuh diri dan lebih memungkinkan untuk tidak meminta pertolongan baik kepada keluarga, teman, atau lembaga yang tersedia. 

Mengapa begitu?

Kita mengenal istilah yang dinamakan toxic masculinity atau peran gender yang masih tradisional dimana laki-laki tidak diperkenankan mengekspresikan emosi mereka sebagai salah satu bentuk dominasi atau menjadi dominan. 

Tentu saja peran gender ini dikatakan toxic, mengingat ketidakmampuan mengekspresikan emosi-akibat konstruksi gender yang tradisional tersebut-dapat menyebabkan penumpukan emosi yang senantiasa memberatakan dari waktu ke waktu. 

Emosi yang senantiasa memberatkan dan tanpa pertolongan ini menjadikan laki-laki lebih rentan untuk bunuh diri. Maka, istilah 'toxic masculinity' memang tidak salah untuk digunakan terhadap berbagai konstruksi peran gender yang kemudian membahayakan laki-laki itu sendiri, bahkan terhadap perempuan pula.

Beranjak dari toxic masculinity, meminta bantuan adalah salah satu bagian dari mengekspresikan emosi. Sementara, untuk laki-laki yang masih terjebak dalam toxic masculinity dan konstruksi peran gender yang tradisional ini, mengekspresikan emosi dianggap lemah. Sehingga, meminta bantuan sebagai bentuk, secara kasar, penghinaan terhadap peran gendernya dan sebagai unjuk kelemahan. 

Perlu dipahami bahwa meminta pertolongan, dalam konteks apapun, bukanlah bentuk kelemahan

Terlebih, penghinaan terhadap gender. Konstruksi peran gender yang tradisional ini tentu saja sudah tidak bisa diaplikasikan di masa sekarang. Masyarakat yang masih patriarkal dengan segala konstruksi mereka harus memahami bahwa setiap gender memiliki peran yang sama, sehingga membuka pikiran terhadap orang-orang di dalamnya, terutama dalam konteks tulisan ini adalah laki-laki, bahwa konstruksi peran gender tidak seharusnya membatasi mereka hingga ke titik dimana konstruksi tersebut membahayakan diri sendiri atau orang lain. 

Mulai dari individu masing-masing hingga ke ranah yang lebih luas yaitu masyarakat, serta tidak terbatas pada laki-laki saja, perlu disadari pula betapa penting meminta pertolongan. Mulai dari yang bentuknya kecil seperti meminta untuk didengarkan hingga meminta untuk dirujuk kepada yang lebih ahli. 

Kesehatan mental juga tentu lebih penting ketimbang anggapan tradisional dan konservatif semacam toxic masculinity. Laki-laki harus mulai melepaskan diri dari ikatan konstruksi sosial tersebut dan mulailah mewajarkan meminta pertolongan. Mulai dari keluarga atau teman terdekat saja dahulu. Kembali diingatkan bahwa meminta pertolongan bukanlah bentuk kelemahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline