Lihat ke Halaman Asli

Abdul Fickar Hadjar

Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Harapan di Ujung Ramadan

Diperbarui: 24 Juni 2017   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi

Tadi sore disebuah super market persis di perbatasan Jakarta Bekasi, seorang Ibu menegurku: waduh borong buah pak? pertanyaan itu muncul pasti karena melihat aku mendorong beberapa buah semangka diatas kardus air mineral dalam sebuah troli, sesungguhnya tidak banyak buah semangka yang aku beli, tapi menghindari dialog yang berlawanan, aku mencoba menjawab dengan diplomatis dan seteduh mungkin: He.he... besok banyak adik-adik,  ponakan dan cucu-cucu di rumah bu. 

Aku berharap dialog itu selesai karena aku masih ingin mencari barang yang lain, tapi ternyata dialog bersambung:  Tapi harganya sekarang naik tinggi pak, harga lebaran, padahal kemarin saya baru beli harganya sepertiga  dan maksimal separuhnya pak, ujar sang Ibu-ibu. Lho begitu kah  bu, coba saya cek,  kata ku, sambil aku berjalan kearah penimbang buah dan pemberi lebel harga. Benar memang harga sebuah semangka besar itu ternyata 84 ribu rupiah lebih padahal biasanya antara 36 sampai dengan 44 ribu saja.

Dialog itu nampak biasa-biasa saja, tetapi di balik itu ada gejala global dan theory ekonomi kapitalis yang muncul selain teori gossip. Momentum hari raya memunculkan kecenderungan meningkatnya demand, sehingga supply yang pada waktu-waktu normal terbatas akan mengakibatkan kenaikan harga, dan  biasanya kita-kita permisif saja, permakluman hari raya dimana hitungan uang kadang-kadang menjadi tidak rasional. Guna tempat (palace utility) dan guna waktu (time utility) sebuah produk  mendapatkan momentumnya. 

Disinilah sebenarnya salah satu tugas Negara ic pemerintah mengintervensi pasar  secara regular melakukan tindakan-tindakan yang dapat tetap menstabilkan harga, meski secara umum intervensi itu sudah terjadi melalui peran regulasi yaitu hadirnya UU Perlindungan Konsumen atau UU Anti Monopoly dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Kembali ke laptop,  Ramadan tahun 2017 ini saya pribadi merasa kurang dapat merasakan kekhidmatannya, karena  setiap hari ruang pandang dan ruang dengar kita selalu diganggu oleh kegaduhan-kegaduhan social, hukum maupun politik. Saya maklum sih, efek pilkada serentak masih belum selesai buntutnya. Demokrasi memang kadang indah untuk diucapkan, sampai kita tiba pada satu kekalahan seringkali orang  akan menjadi lupa bahwa kekalahan itu "takdir demokrasi" yang harus diterima dengan lapang dada. 

Yang parah dan sangat disesalkan justru upaya yang terus mengobarkan seolah-olah kebhinekaan kita terkoyakkan, kebinekhaan itu keniscayaan kita, kebinekaan itu takdir yang tidak bisa kita tolak, karena itu jangan sengaja dikoyak-koyak hanya untuk kepentingan sesaat. Belum lagi di ranah hukum selalu mengundang kegaduhan, koruptor yang tak pernah kapok diOTT KPK, penetapan tersangka terhadap pimpinan sebuah ormas atas sangkaan chating pribadi, demikian juga proses perkara Ektp yang melahirkan Angket-angkot DPR terhadap KPK, sedikit banyak juga mempengaruhi kekhidmatan ramadan.

Namun begitu diujung Ramadan ini, saya masih bisa tetap bersyukur dan bahagia, segala kewajiban individual dan social tertunaikan dengan baik. Ibadah shalat taraweh umpamanya justru membahagiakan karena serasa kembali ke setting kehidupan masa kecil, jumlah rakaat yang banyak (23) justru menjadikan kebutuhan buat saya yang jarang berolah raga serius disamping kemeriahan  doa-doa dan shalawat yang dikutif dari "kitab Barjanji" disela-sela penggantian rakaat menjadi sesuatu yang mengasikkan, Subhanallah. 

Demikian juga Ramadan bisa kita letakan sebagai sesuatu yang menghidupkan semangat berbagi, kepada saudara dan family, kepada tetangga, bangsa  dan kepada siapa saja sesama umat manusia. Jika kita pernah melakukan "donor darah" begitulah seharusnya  semangat berbagi itu diletakan, kita memberi tanpa tahu siapa yang dapat menfaat dari pemberian kita tapi pasti sangat bermanfaat, begitulah keikhlasan seharusnya dibangun.

Di-ujung Ramadan ini tak terhindarkan  rasa sedih juga melanda, sebentar lagi akan meninggalkan kita, kita tidak tahu apakah kita akan sampai lagi pada ramadhan berikutnya. Setiap habis Ramadan/Hamba rindu lagi Ramadhan/Saat -- saat padat beribadah/Tak terhingga nilai mahalnya/Setiap habis Ramadan/Hamba cemas kalau tak sampai/Umur hamba di tahun depan/Berilah hamba kesempatan. Begitulah Bimbo menggambarkan suasana hati kita, semoga setiap hari dan setiap bulan menjadi Ramadan, dimana kita selalu mengingatNya dan menjadi pengendali dalam setiap keputusan yang kita lakukan. Wallahu a'lamu bishawab (Tebet24062017-29Ramadhan1438 H)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline