Lihat ke Halaman Asli

Abdul Fickar Hadjar

Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Museum : Antara Study dan Kesenangan

Diperbarui: 31 Desember 2015   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MUSEUM : antara Study dan Kesenangan

abdul fickar hadjar

saya teringat ternyata masih ada lagi satu tempat bersejarah dalam hidup saya, ya toko sepatu “Sin Lie Seng” yang terletak di komplek pertokoan Pasar Baru Jakarta Pusat. Sejak kecil ayah selalu membawa saya ke toko ini untuk membeli sepatu yang biasanya menjelang lebaran. Pilihan terhadap toko sepatu ini didasarkan pada selain sepatunya terbuat dari kulit asli yang dibuat sendiri, toko ini juga melayani perbaikan-perbaikan terutama terhadap sepatu produknya. Kebiasaan mengunjungi toko “Sin Lie Seng” ini berlanjut terus sampai ketika saya telah berkeluarga seperti sekarang ini, bahkan setiap menjelang lebaran istri saya selalu mengingatkan untuk tidak lupa mengunjungi toko sepatu Sin Lie Seng, meski produk yang dijualnya lebih banyak merek sepatu sohor lain ketimbang merekya sendiri. (mungkin dalam perspektif Ilmu Pemasaran (marketing), toko Sin Lie Seng telah berhasil menciptakan “customer setia” yang saya yakin tidak hanya saya he..he..he..).

Dua hari ini (28-29/12) di kota NgalaM saya dan keluarga berputar-putar dari meseum ke meseum, ada keasyikan sendiri mengunjungi tempat mengkoleksi benda-benda bersejarah. Yang menggembirakan di satu sisi meningkatnya minat dan animo masyarakat mengunjungi museum (mengantri sampai hampir 1 km untuk membeli ticket dan masuk kearena museum), di sisi lain ada pergeseran bandul tujuan orang mengunjungi museum.

Jika dulu (sampai dengan saya selesai kuliah S1) kebanyakan tujuan orang mengunjungi museum untuk kebutuhan study, mengkonfirmasi pengetahuan dan teori yang didapat di sekolah atau dibangku kuliah dengan bukti-bukti sejarah di museum, tetapi sekarang nampaknya bandulnya bergeser kearah mencari “kesenangan”. Indikasinya adalah mayoritas masyarakat yang begitu banyak masuk meseum hanya untuk keperluan berfoto, bergaya di depan objek sejarah, saya lihat jarang masyarakat “membaca teks” yang disediakan pihak meseum yang menggambarkan riwayat atau sejarah dari benda bersejarah tersebut. (ini mungkin konvergensi antara generasi dital dan generasi kameranya Renald Kasali).

Dua museum tematik yang saya kunjungi, museum tubuh THE BAGONG ADVENTURE dan meseum ANGKUT +, keduanya di kota Batu. Satu yang pertama menyadarkan bahwa sesungguhnya sebagai seorang manusia kita memiliki “pabrik” TERSIBUK dan TERCANGGIH di dunia dengan pekerja tanpa upah, yang harus selalu kita jaga karena ia adalah asset berharga dalam hidup kita, yaitu tubuh (Saya tersadar dan menjadi semakin “alert” karena pada saat ini justru saya sedang dalam program diet menurunkan kadar gula (GDS) yang cukup tinggi, antara lain dengan cara meninggalkan makan nasi putih).

Di meseum yang kedua, meseum Angkut, saya cukup surprise atas kemajuan kota Malang membangun meseum yang menggambarkan sejarah perkembangan angkutan yang tidak hanya di dalam negeri tapi juga di beberapa Negara maju di dunia (terutama angkutan umumnya) seperti Inggris, Amerika Serikat, Cina, India dan German. Dari alat angkut yang paling tradisional seperti kuda, sepeda kayu, becak tarik/goes/dorong, sejarah mobil pertama, angkutan laut dan angkutan yang paling modern “mobil listrik” yang terakhir ini buatan Indonesia yang menabrak pohon ketika dikendarai oleh pa DAHLAN ISKAN juga ikut di pamerkan di museum ini. Demikian juga mobil sederhana India yang mengangkut Pa “Mahatma Gandhi” ketika menjabat sebagai Perdana Menteri India, sangat menarik, bagi yang belum mengunjungi saya sangat merekomendasikannya.

Hal yang juga menarik, hadirnya miniature gedung bersejarah tidak hanya bagi perkembangan alat transportasi Indonesia, tetapi juga tempat yang bersejarah buat hidup saya yaitu stasiun Kereta Api Jakarta Kota atau “stasiun BEOS”. Mengapa, ya karena sebagian penggalan hidup, saya lalui di tempat ini, tepatnya bersekolah di SMPN 55 dan SMAN 18 Jakarta yang berlokasi di Jalan Jembatan Batu 74 tepat didepan Stasion Jakarta Kota, sadar atau tidak tempat ini menyimpan kenangan tentang perkembangan peradaban saya sebagai manusia. Ia menyimpan kenangan buruk tentang kenakalan semasa sekolah sekaligus juga kenangan manis tentang prestasi dan peristiwa menyenangkan bersama teman-teman.

Ketika menulis catatan ini, saya teringat ternyata masih ada lagi satu tempat bersejarah dalam hidup saya, ya toko sepatu “Sin Lie Seng” yang terletak di komplek pertokoan Pasar Baru Jakarta Pusat. Sejak kecil ayah selalu membawa saya ke toko ini untuk membeli sepatu yang biasanya menjelang lebaran. Pilihan terhadap toko sepatu ini didasarkan pada selain sepatunya terbuat dari kulit asli yang dibuat sendiri, toko ini juga melayani perbaikan-perbaikan terutama terhadap sepatu produknya. Kebiasaan mengunjungi toko “Sin Lie Seng” ini berlanjut terus sampai ketika saya telah berkeluarga seperti sekarang ini, bahkan setiap menjelang lebaran istri saya selalu mengingatkan untuk tidak lupa mengunjungi toko sepatu Sin Lie Seng, meski produk yang dijualnya lebih banyak merek sepatu sohor lain ketimbang merekya sendiri. (mungkin dalam perspektif Ilmu Pemasaran (marketing), toko Sin Lie Seng telah berhasil menciptakan “customer setia” yang saya yakin tidak hanya saya he..he..he..).

Ya, sebagaimana fungsi formalnya museum sebagai badan permanen dan nirlaba yang bertujuan melayani kebutuhan publik, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan. Karena itu isinya bisa menjadi bahan studi kalangan akademisi, ia juga bisa menjadi dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif pada masa depan. Namun realitas hari ini, ia bergeser pendulumnya, museum telah juga menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat terutama pada saat-saat liburan sekolah, he..he.. dan berubah juga fungsinya menjadi “lembaga ekonomi”.

Di Indonesia, museum yang pertama kali dibangun adalah Museum Radya Pustaka di Surakarta. Selain itu dikenal pula Museum Gajah yang dikenal sebagai yang terlengkap koleksinya di Indonesia, Museum Wayang, Persada Soekarno, Museum Tekstil serta Galeri Nasional Indonesia yang khusus menyajikan koleksi seni rupa modern Indonesia. Selain itu kemudian berkembang museum-museum yang bersifat tematik lainnya seperti meseum Uang, museum anak, museum maritime dan banyak lagi jenis-jenis museum lainnya bahkan rumah-rumah orang-orang yang menonjol dalam sejarah bisa juga dijadikan museum seperti museum AH Nasution, museum sasmita loka Ahmad Yani dan museum-museum lainnya. Ya, tidak hanya yang berbentuk fisik saja yang dapat dijadikan museum, dari perspektif yang lain sesungguhnya “diri kita” merupakan museum bagi kita sendiri, ada banyak kenangan, impian dan cita-cita yang tersimpan rapi di dalamnya, dan biasanya baru ditengok ketika kita sedang nelangsa (ha..ha..ha..), makanya jangan coba-coba melupakan sejarah, kwalat kata orang tua. Wallahu alamu bishawab (Savanahotel-Malang291215)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline