RUU KUHAP : MEMPERKUAT PEMBERANTASAN KORUPSI *)
Oleh Abdul Fickar Hadjar
Pengantar
Ada dua sistem hukum acara pidana yang berkembang di dunia, yang didasari oleh tradisi common law dan tradisi civil law. Tradisi Civil Law dengan sistem hukum acara inquisitorial, dan tradisi Common Law dengan sistem hukum acara accusatorial.
Dalam sistem akusatorial posisi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Terdakwa sederajat, mereka “bertanding” (contest) dengan hakim sebagai wasit (referee). Dalam sistem inkuisitorial, maka hakim berubah dari seorang “impartial referee into an active inquisitor who is free to seek evidence and to control the nature and objective of the inquiry”. Pertandingan berubah menjadi individu Terdakwa menghadapi Negara (diwakili JPU).1)
Sistim hukum Indonesia digolongkan termasuk tradisi civil law, karena itu tidak mengherankan jika hukum acara pidana sebelum lahirnya KUHAP 1981, yaitu HIR (stbld Th. 1941 No. 44 jo UU Darurat Tahun 1951 No. 9)2) , menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek juga sangat minimal penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan pada zamannya KUHAP 1981 menjadi undang-undang fenomenal yang disatu sisi melindungi harkat martabat manusia dan di sisi yang lain melindungi kepentingan dan keteriban masyarakat, meskipun peran hakim tetap sebagaimana system inkuisitorial.
Kini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, serta telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan hukum acara pidana, maka hukum acara pidana ic KUHAP 1981 perlu disesuaikan dengan materi konvensi tersebut. Dari beberapa substansi perubahan atau penyesuaiannya meski secara umum terdapat apresiasi yang lebih terhadap HAM terdakwa, korban maupun masyarakat, ternyata juga terdapat beberapa hal yang dalam perspektif pemberantasan korupsi sangat merugikan.
Demikian juga halnya dari beberapa diskusi (termasuk juga ILC), perubahan KUHAP 1981 setidaknya juga didorong dan distimulasi oleh banyaknya “ruang abu-abu” pada tingkat penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan, yang oleh para oknum yang nakal dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi pribadinya. Kejahatan juga bisa lahir dari sebuah system yang tidak adil. Karena itu perubahan yang ektrim dalam RUU KUHAP diantaranya terdapat pada institusi hukum dalam lingkup penyidikan dan penuntutan, antara lain dihilangkan (disatukannya) lembaga “penyelidikan” dengan penyidikan, dikuranginya masa tahanan dalam lingkup penyidikan dan penuntutan yang hanya menjadi 7 (tujuh) hari, perizinan penyadapan, dan kemudian juga diperkenalkannya “Hakim Komisaris” sebagai pengganti institusi “praperadilan”.
Materi-materi perubahan dalam RUU KUHAP yang tidak kalah signifikannya adalah tentang system yang digunakan dalam persidangan yaitu Acara pidana yang dilaksanakan secara wajar dan perpaduan antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang (Pasal 4). Sistem hakim aktif sebagai konsekwensi system pembuktian undang-undang secara negative, mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki didalam membuktikan kesalahan terdakwa dengan cara menggabungkan terpenuhinya pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. (217 KUHAP). Dalam konteks KUHAP 1981, kedudukan hakim sejalan dengan tugas penuntut umum yaitu membuktikan dakwaan dengan alat bukti yang sah menurut UU sebagaimana pernyataan Prof Boy Mardjono hakim lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai JPU ketimbang sebagai wasit. Dengan perpaduan antara “system hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang , ada pergeseran peran hakim pidana, selain sebagai berperan aktif dalam mencari kebenaran materiil juga bertindak sebagai wasit bagi dua pihak yang berlawanan dipersidangan, yaitu JPU dan Terdakwa.3)
Beberapa masalah dalam RUU KUHAP
Mengacu pada TOR, ICW mengidentifikasi beberapa permasalahan yang akan timbul dari RUU KUHAP dalam pemberantasan korupsi, antara lain :
-Eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor dalam RUU KUHP;
-Hilangnya (disatukannya) lembaga “penyelidikan” (dengan penyidikan) yang akan berpengaruh pada hilangnya beberapa kewenangan lain (penyadapan, pencekalan, pemblokiran bank);
-Hakim Komisaris, terutama kewenangan menangguhkan penahanan dan menghentikan perkara;
-Putusan bebas tidak dapat di kasasi;
-Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya;
Sebagaimana judul diskusi ini “Merancang KUHAP yang Berpihak pada Pemberantasan Korupsi”, berdasarkan urutan permasalahan diatas, maka jika dikemukakan dalam bentuk pertanyaan umum: sejauhmana RUU KUHAP tidak menjadi hambatan, bahkan dapat mendorong optimalisasi pemberantasan korupsi terutama yang dilakukan oleh KPK ?
Tentang Eksistensi KPK & Pengadilan Tipikor dalam RUU KUHAP
KUHAP adalah seperangkat hukum pidana formil, yang mengatur cara dan prosedur hukum dalam mengajukan, memeriksa, memutus dan melaksanakan putusan terhadap pelaku tindak pidana, sehingga menjamin terlaksananya hukum materil (KUHP) melalui lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Demikian juga meski pengaturan mengenai tindak pidana tidak hanya ada dalam satu undang-undang (KUHP) atau tidak terunifikasi, tetapi KUHAP sebagai hukum procedural juga berlaku bagi tindak pidana lain yang diatur undang-undang diluar KUHP, kecuali undang-undang tersebut mengatur lain (lex specialis derogate lex generalis).