Meskipun peradaban manusia telah memasuki era yang cukup modern dan canggih, bencana alam merupakan fenomena alam yang tidak bisa dihentikan. Kecanggihan teknologi dan kemampuan otak manusia hanya mampu mendeteksi lebih dini bukan untuk menghentikan. Bencana alam telah melanda bumi jauh sebelum adanya peradaban manusia.
Bencana alam bisa saja terjadi dalam skala yang cukup besar dan masif, yang mengakibatkan alat Negara terdampak mempunyai keterbatasan dalam memberikan bantuan kemanusiaan dan mitigasi bencana alam untuk mengatasinya. Dalam kondisi seperti ini bantuan dari pihak luar seperti Negara, Organisasi Internasional, Perserikatan Bangsa Bangsa mutlak dibutuhkan. Pada dasarnya bantuan internasional adalah bentuk kepedulian kepada negara sahabat dan alasan kemanusiaan.
Dalam hal bantuan internasional, negara yang menjadi korban bencana tidak serta merta menerima semua bantuan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa tidak semua bantuan internasional tersebut adalah semata-mata untuk aksi kemanusiaan dan filantropisme, tetapi juga kadang mempunyai muatan kepentingan lain. Biasanya kondisi ini dipengaruhi oleh situasi politik negara yang dilanda bencana dan hubungannya dengan pemberi bantuan. Sehingga terkadang bantuan kemanusiaan disinyalir politis.
Pasca gempa yang diserta tsunami gempa disertai tsunami memporakporandakan Donggala, Palu, dan Sigi di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018), pemerintahan Joko Widodo menyatakan menerima bantuan internasional. Dari laporan United Nation Development Programme (UNDP) ada 18 Negara yang siap memberikan bantuan.
Langkah ini sama dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika gempa disertai tsunami yang menghancurkan wilayah Sumatra bagian barat, terutama di pesisir utara dan barat Aceh, pada 26 Desember 2004. Tidak hanya donasi dan logistik, relawan para medis hingga tentara kala itu memasuki wilayah terdampak.
Deutsche Welle (DW) melaporkan setidaknya ada 35 negara donor dan lembaga internasional yang membantu rekonstruksi dan rehabilitasi aceh. Dengan total anggaran 140 triliun rupiah. Hal ini dihimpun pada peringatan 10 tahun tsunami Aceh Jumat (26/12/2014). Dimana Gubernur Aceh Zaini Adullah menyampaikan terimakasih dan memberikan penghargaan kepada duta besar negara-negara donor yang telah membantu Aceh bangkit dari keterpurukan pasca bencana gempa dan tsunami.
Indonesia, era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membuka keran bantuan internasional untuk penanganan gempa Yogyakarta (2006) dan Sumatera Barat (2009).
Menerima bantuan internasional untuk penganganan bencana pada intinya adalah ketika kekurangan mampuan dalam penanganan pascabencana. Di sisi lain, bantuan internasional tidak selalu diterima ketika sebuah bencana. Pada saat gempa mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat Agustus 2018 pemerintah melalui Badan Nasional Penanggunglangan Bencana Nasional (BNPB) menyatakan pemerintah pusat dan daerah masih sanggup menangani bencana yang terjadi.
Menolak bantuan internasional merupakan sebuah kewajaran dilakukan sebuah negara. Hal ini tentunya untuk memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa negara tersebut kuat, tangguh, dan mampu serta berkompeten dalam menanggulangi bencana. Di sisi lain, penolakan ini juga disebabkan xenophobia atau ketakutan terhadap asing.
AFP melaporkan India juga pernah menolak bantuan internasional untuk penanganan banjir Agustus 2018. Banjir yang melanda negara bagian Kerala tersebut mengakibatkan 400 jiwa melayang. Penolakan bantuan ini tak lain untuk membuktikan kepada dunia bahwa India mampu mengatasi keadaan darurat di negaranya tanpa bantuan asing.
Kembali ke Indonesia, Kompas.com melaporkan pada Selasa (12/10/2018) sebanyak 22 orang relawan asing ditolak masuk ke kawasan kota Palu. Mereka berasal dari Nepal, Meksiko, Tiongkok, dan Australia. Alasan penolakan tersebut karena relawan asing tersebut tidak mempunyai mitra lokal berbentuk organisasi sebagai salah satu syarat ketika relawan asing ingin terjun langsung ke lokasi bencana.