Lihat ke Halaman Asli

Antara Mata dan Perut

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13701624791236672371

[caption id="attachment_265070" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS IMAGES/Banar Fil Ardhi)"][/caption] Sederet asbak rokok keramik yang masih baru kujejer rapi dengan jarak yang sama di atas meja, kemudian di salah satu ujung deretan kuletakkan asbak rokok yang berukuran lebih besar Aku mendengar suara tepukan tangan di belakangku, aku tahu siapa itu dan terus saja memarka jarak antar asbak rokok di depanku, memastikan komposisinya sesuai dengan imajinasiku Berdiri mematung, kupandangi asbak-asbak rokok satu persatu, mereka masih muda ujarku dalam hati ‘kamu masih muda…tapi ayah takjub sama kemampuanmu, ide ini jauh diluar imajinasi ayah’ ujar ayah di belakangku Kami terdiam untuk beberapa saat, menikmati komposisi deretan asbak rokok di atas meja, deret yang lurus dan panjang sekali, sepanjang meja makan di rumah kami yang dapat menampung hingga tiga puluh orang dalam sekali jamuan makan, yang hanya pernah terjadi satu kali sejak kami mulai menempati rumah ini Ayah memegang bahuku, meletakkan dagunya diatas ubun-ubun ku ‘ayah rasa komposisinya sudah pas, sekarang kamu istirahat ya, besok malam kamu adalah tuan putri di hadapan khalayak, harus terlihat segar, harus benar-benar segar’ Aku memejamkan mataku, ayah melepaskan pegangannya, berjalan ke belakang meninggalkanku, sepertinya ia langsung masuk ke kamarnya Ku geser sedikit asbak rokok ketiga, membuatnya berjarak jauh dengan asbak kedua dan menjadi dekat dengan asbak ke empat Aku berdiri mematung lagi, menatap komposisi baru itu, aku baru saja melompat dari imajinasi awal, mungkin karena dagu ayah baru saja menekan ubun-ubunku, dengan begitu, sekarang aku memiliki dua deret asbak rokok, yang satu deret pendek dengan satu asbak yang lebih besar di salah satu ujungnya, satunya lagi deret panjang dengan ukuran asbak yang sama semua Aku berjalan ke dapur, mengambil air putih yang dingin di kulkas, meminumnya, kemudian kembali ke meja makan lagi, kuangkat asbak ke sebelas dari deret yang panjang, meletakkannya di depan asbak ke sepuluh Aku menatap komposisi baru itu, aku baru saja melompat lagi dari imajinasi awal, mungkin karena air putih dingin baru saja membasahi kerongkonganku, kali ini aku memiliki tiga deret asbak rokok, satu deret panjang dan dua deret pendek yang salah satu nya berujung asbak yang lebih besar Aku rasa inilah komposisi yang paling pas, walaupun ia berbeda dari imajinasi awalku, aku menguap, mataku berair, fikiranku mulai kosong, sepertinya kantuk setuju dengan perasaanku inilah komposisi yang paling pas dan kantuk mengajakku untuk segera tidur saja Kumatikan lampu di ruang makan ….. Pagi sekali aku terjaga, ibu membuka jendela kamarku, membiarkan udara dingin segar pagi hari berlari pelan memasuki kamarku, mereka segar sekali pagi ini ujarku dalam hati ‘kamu kelihatan segar sekali pagi ini’ ujar ibu di depanku Kami terdiam untuk beberapa saat, meresapi kesegaran udara pagi dari jendela kamarku, jendela kaca dengan kusen kayu yang hampir setiap pagi selalu dibuka oleh ibu sejak kami mulai menempati rumah ini Ibu membelai rambutku dan meletakkan tangannya di bahuku ‘ayo mandi dulu, habis itu kamu sarapan, besok kamu sudah harus memamerkan karyamu di hadapan khalayak, hari ini ibu yakin kamu bisa menyelesaikan komposisimu’ ujar ibu tersenyum Aku membalas senyumnya, ibu beranjak dari tempat tidurku, berjalan meninggalkan kamarku, sepertinya ia langsung ke dapur Aku mengambil satu asbak rokok keramik dari kotak kardus di meja kamarku, meraba permukaan licinnya dan membayangkan ia akan berderet panjang sekali di atas meja makan dengan jarak yang teratur Punggungku terasa gatal, sepertinya aku sudah harus mandi, kukembalikan asbak keramik ke tempatnya semula Aku masuk ke kamar mandi ….. Toktoktok, pintu kamar mandiku diketok pelan ‘sarapan sudah ibu letakan di atas mejamu ya, jangan lupa dimakan’ suara ibu di luar sana, 
‘iya bu’ ujarku sembari mengambil handuk Aku mengeringkan rambutku sambil menyendok bubur merah diatas meja, suara ayah terdengar di luar kamar, ia sedang bicara dengan ibu entah tentang apa Toktoktok, pintu kamarku diketok pelan, aku membukanya, ayah menyodorkan sehelai kertas 
‘ini draft kata sambutan untuk nanti malam, terserah kamu mau nambahin apa lagi’ ujar ayah sambil tersenyum, 
‘makasih yah’ aku membalas senyumnya ….. Waktu rasanya berjalan cepat sekali, dua hari lagi banyak orang diundang ayah untuk datang kerumahku, ada sebuah instalasi seni yang akan aku pamerkan ke mereka, instalasi yang sudah kurancang selama kira-kira tujuh bulan terakhir, acara itu sekaligus peresmian galeri seni lukis milik ayah yang dibangun di samping rumah kami Awalnya ayah memintaku membuat sebuah instalasi di galeri barunya, tapi aku tak ingin mengganggu keindahan lukisan-lukisan disana, aku lebih memilih untuk ‘menjamu’ tamu-tamu ayah di meja makan rumah kami, ayah terlihat bingung ketika hal itu kuutarakan padanya tujuh bulan yang lalu, tapi ia mendukungku sepenuh hati, apapun ide ku nanti ….. Aku meminta tolong dua orang pembantu dirumahku untuk menutup tirai-tirai jendela dan mematikan semua lampu di rumah beberapa menit sebelum tamu pertama datang, rumah kami gelap gulita, aku juga meminta agar semua lampu di galeri lukisan yang baru dinyalakan, galeri lukisan itu terang benderang Aku berdiri disamping meja, ayah dan ibu menghampiriku, ‘kejutan apa lagi ini?’ ujar ayah, samar-samar terlihat ibu tersenyum sambil menggandeng tangan ayah, ‘lihat saja nanti ya’ ujarku Sebenarnya menurutku ide membuka sebuah galeri lukisan dengan memamerkan sebuah instalasi seni justru seperti ingin menjadi dokter dengan memperdalam ilmu-ilmu jurnalistik, tak ada yang salah dengan itu, hanya rasanya kurang pas saja, dan mengingat pesta olahraga olimpiade juga dibuka dengan tari-tarian dan musik, aku tetap bersemangat mendukung ide ayah, mungkin memang lebih baik memancing apresiasi terhadap suatu jenis karya dengan mempertunjukkan jenis karya yang lain terlebih dahulu fikirku Malam ini aku memberi kata sambutan dalam gelap, tamu-tamu berdiri mengelilingi meja makan panjang kami, kata sambutanku berakhir ketika lampu di atas meja makan kunyalakan, tak ada yang bertepuk tangan, hanya suara-suara pelan terdengar mulai ramai berkomentar Jamuan makan malam diadakan di halaman rumah kami, persis di depan galeri lukisan baru itu, beberapa orang membawa gelas minuman sambil melihat-lihat lukisan-lukisan di dalam galeri ….. Ayah menghampiriku ketika aku sedang duduk melihat orang-orang catering menghias meja jamuan, ia kemudian duduk juga di sebelahku, kira-kira dua jam sebelum acara dimulai ‘jamuan mata di dalam rumah, jamuan perut di luar rumah’ ujarnya pelan ‘ada banyak karya kreasi hasil imajinasi manusia, tapi hanya beberapa yang terpilih untuk diistimewakan’ ujarku pelan ‘beberapa dibuat agar keinginan mata terpuaskan, beberapa dibuat agar keinginan perut terpuaskan’ suara ibu pelan di belakang kami ….. Karya instalasiku masih di atas meja makan panjang itu, aku menguap, mataku berair, fikiranku mulai kosong, sepertinya kantuk setuju dengan perasaanku membiarkan waktu memutuskan akan kemana deretan asbak rokok keramik itu setelah acara peresmian ini dan kantuk mengajakku untuk segera tidur saja Kumatikan lampu di ruang makan, seperti malam-malam sebelumnya …..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline