Lihat ke Halaman Asli

Buku Hitam Bank Sentral

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1380446117526551399

ADA FAKTA menarik jauh hari sebelum mega skandal yang menerpa Bank Indonesia sebagai bank sentral seperti kasus BLBI, Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI dan Bailout Bank Century menyeruak, Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi Presiden De Javasche Bank pada tahun 1951 “galau”. Beliau mengungkapkan: “De Circulatie Bank is gelijk deze scheepsmachine, zij heeft een eigen, deskundige leiding nodig. Die deskundigheid wordt niet slechts verkregen op grond van theoretische kennis, doch ook door ervaring opgedaan in continue werkzaamheid. Daarom geschieden benoemingen in de Directie van een circulatiebank gewoolijk voor bepaalde, tamelijk lange termijn. Dit in tegenstelling tot de ambtstermijn ener Regering (kabinet), die elk ogenblik kan aftreden en door een andere worden opgevolgd als gevolg van politieke invloeden en belangen.” Bank Sirkulasi (sentral) itu ibarat seperti mesin kapal, dia memerlukan sebuah pimpinan (nahkoda) yang memiliki keahlian khusus. Keahlian itu tidak hanya diperoleh dari pengetahuan teknis, tetapi dari pengalaman yang diperoleh secara terus-menerus. Untuk itu pengangkatan direksi sebuah bank sirkulasi biasanya memakan waktu agak lama. Hal ini berlawanan dengan masa jabatan sebuah pemerintahan (kabinet), yang sewaktu-waktu diganti akibat pengaruh dan kepentingan politik.

Kegalauannya itu karena beliau khawatir ketika pemerintah Indonesia menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, dimana ia memangku jabatan sebagai Presiden De Javasche Bank menggantikan Dr. Houwink yang diproyeksikan untuk memimpin bank hasil nasionalisasi. Kekhawatiran itu sangat beralasan karena De Javasche Bank merupakan bank yang telah berjasa besar dan menyimpan pengalaman yang kaya sebagai salah satu bank tertua di Asia dan dikenal efesien dalam merintis, mengembangkan sektor bisnis serta menjadi acuan perkembangan perbankan di Hindia Belanda, kendati harus dipahami sebagai sebuah bank yang beroperasi dalam sistem perekonomian kolonial.

Dalam benaknya apakah setelah dinasionalisasikan dan dijadikan sebagai bank sentral dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik serta independen, mengingat keterbatasan SDM dan kultur politik masyarakatnya yang kurang mendukung. Padahal, De Javasche Bank merupakan sebuah organisasi yang besar dan maju.

Perjalanan Bank Indonesia sebagai bank hasil nasionalisasi mengalami pasang-surut sebagai pelaksana kebijakan moneter. Setelah Orde Baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lain.

Namun, independensi bank sentral ini masih dipertanyakan, mengingat berbagai kasus yang menerpa mengindikasikan ada campur tangan politik dan pihak-pihak tertentu, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998. Indikasinya terkuak ketika pada tahun 2003 terdapat kasus dana BI. kasus itu bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI pada waktu itu yang mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada YPPI senilai Rp100 miliar.

Kasus aliran dana BI ini bermula saat Rapat Dewan Gubernur pada tanggal 3 Juni dan 22 Juli 2003 yang menghasilkan keputusan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 69,5 miliar yang digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum yang menjerat beberapa mantan pejabat BI. Sedang sisanya Rp 38,5 miliar mengalir ke anggota DPR komisi VIII periode 1999-2004. Kucuran dana ke DPR itu dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah BLBI dan amandemen UU Bank Indonesia.

Kasus lain yang menyita banyak perhatian publik adalah kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, sampai saat ini penanganannya masih bergulir di KPK. Kasus pemilihan DGS-BI terjadi pada 2004, ketika dilakukan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI yang kemudian memilih Miranda Swaray Goeltom, terpilihnya Miranda sebagai DGS BI disinyalir terkait dengan kasus suap. Kronologi kasus ini berawal dari pengakuan politisi PDIP Agus Tjondro Prayitno pada 4 Juli 2008. Ia mengaku menerima suap dalam bentuk cek perjalanan. Ia juga menyatakan ada anggota komisi XI DPR periode 1999 – 2004 yang juga menerima suap. Miranda S. Goeltom saat ini sudah masuk masuk penjara.

Pada 9 September 2008, Pusat Pelaporan dan Anilisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR RI periode 2004 – 2009 dari Arie Malangjudo asisten Nunun Nurbaeti. Pada 9 Juni 2009, KPK mengumumkan 4 orang anggota Komisi XI sebagai tersangka. Pada 1 September 2010 KPK menetapkan 26 anggota Komisi XI DPR sebagai tersangka lagi.

Disusul kasus menghebohkan Bailout Bank Century tahun 2008, karena mengindikasikan keterlibatan pejabat-pejabat publik yang dekat dengan kekuasaan. Dua pejabat Bank Indonesia yaitu Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjridjah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Dalam kasus tersebut fungsi pengawasan BI sebagai bank sentral dianggap sangat lemah dan tidak independen lagi dari kepentingan pihak lain. Tragisnya, semua kasus-kasus tersebut terjadi di ranah Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline