Lihat ke Halaman Asli

Ada Malaysia di Cikampek-Palimanan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

ADA MALAYSIA DI CIKAMPEK-PALIMANAN

Pada hari kamis (8/12), Menteri Kerja Raya Malaysia Datuk Seri Shaziman Bin Abu Mansor, melawat ke Cikampek, Jawa Barat untuk pencanangan pembangunan Tol Cikampek – Palimanan sepanjang 116 kilometer. PLUS Expressway, operator tol Malaysia sebagai pemenang tender pengerjaan ruas jalan tol terpanjang di Indonesia.

Menarik untuk dicermati, Malaysia melakukan ekspansi bisnis besar-besaran di Indonesia. Di sektor bisnis Malaysia sudah cukup jauh melangkah ke Indonesia. Bahkan sudah merambah ke berbagai sektor bisnis strategis, mulai telekomunikasi, perminyakan, perkebunan, perbankan, penerbangan dan infrastruktur. Di bidang telekomunikasi ada Excelcomindo yang dikenal dengan XL, kepemilikan saham mayoritas dipegang oleh Indocel Holding Sdn Bhd. Di bidang perbankan ada CIMB Niaga yang saham mayoritas dipegang CIMB Group Sdn Bhd. Di bidang penerbangan ada Air Asia, maskapai yang mengklaim sebagai penerbangan murah melakukan ekspansi bisnis ke Indonesia dengan membuka rute-rute penerbangan ke sejumlah jalur gemuk di Indonesia. Di bidang perminyakan dan gas, Petronas jauh-jauh hari sudah eksis. Di bidang perkebunan ada Kumpulan Guthrie Bhd, yang melakukan ekspansi perkebunan sawit.

Malaysia lihai memanfaatkan pasar Indonesia yang cukup besar dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa yang merupakan target besar untuk menjaring keuntungan dari negeri ini. Disamping itu, Malaysia juga pandai memanfaatkan kelemahan kelembagaan di kementerian Indonesia yang tidak sinergis. Dalam kasuspembangunan jalan tol misalnya berbagai regulasi yang dikeluarkan tidak mampu menarik minat investor dalam negeri.

Dalam sejarahnya, Indonesia sebenarnya membangun jalan tol lebih dahulu dibandingkan negara-negara Asia lainnya, seperti China atau Malaysia. Namun demikian, dalam perkembangannya pembangunan jalan tol di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Pada periode tahun 1978 sampai dengan 2011, hanya terdapat 21 ruas jalan tol sepanjang 777,05 km, atau rata-rata bertambah 23 km per tahun. Jika dibandingkan dengan China, panjang jalan tol Indonesia jauh lebih pendek. Di China sudah terbentang 46.000 km, atau bertambah rata-rata 1500 km per tahun. Dengan Malaysia-pun masih ketinggalan, sampai sekarang sudah terbangun 1192 km, bertambah rata-rata 66 km per tahun.

Public Private Partnerships Terganjal Kendala

Di Indonesia, kualitas dan kuantitas infrastruktur yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendukung akselerasi pembangunan. Kondisi infrastruktur yang rendah ini membuat Indonesia memiliki daya saing relatif rendah dibandingkan dengan negara kompetitor (Wallace, 2008). Kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat terbatas. Dengan asumsi, anggaran pembangunan infrastruktur per tahun rata-rata sebesar 5% dari PDB, maka sampai dengan tahun 2014 kebutuhan dana infrastruktur akan mencapai 1.429 triliun. Jumlah dana sebesar itu sangat sulit dipenuhi pemerintah di tengah tekanan fiskal karena tingginya biaya utang, subsidi, dan transfer dana ke daerah yang cenderung meningkat setiap saat (Adam, 2009).

Berbeda dengan pemerintah, sektor swasta memiliki keahlian yang mumpuni untuk membangun infrastruktur secara efektif dan efesien. Keahlian yang dimiliki sektor swasta ini bisa menjadi modal untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan memperbaiki iklim investasi di negeri ini. Berdasarkan pertimbangan di atas, pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mendukung Public Private Partnerships (PPP). PPP adalah suatu persetujuan atau kontrak yang melibatkan suatu instansi pemerintah (sektor publik) dan suatu badan usaha (sektor swasta), dimana sektor swasta mengambil alih peran pemerintah untuk mendisain, membangun, membiayai, dan mengoperasionalkan proyek infrastruktur yang tadinya menjadi kewajiban pemerintah.

Proyek pembangunan jalan tol menjadi salah satu sektor unggulan dalam pelaksanaan PPP di Indonesia. Hal ini terindikasi dari dominannya jumlah proyek dan alokasi biaya pembangunan tol dalam struktur perencanaan pelaksanaan PPP. Pada periode 2010 – 2014, 35 dari 100 proyek PPP infrastruktur yang akan dibangun terkonsentrasi pada pembangunan jalan tol. Namun demikian, dari 35 proyek pembangunan jalan tol tersebut baru satu proyek yang sudah melangkah masuk proses prakualifikasi dan proses tender, yaitu dengan pemenang PLUS Expressway dari Malaysia untuk ruas tol Cikampek – Palimanan. Lambatnya pelaksanaan ini karena terkendala kebutuhan lahan untuk pembangunan jalan tol relatif lebih tinggi dibandingkan dengan proyek infrastruktur lainnya. Legal framework yang menjadi acuan proses pembebasan lahan untuk kepentingan publik belum tertata dengan baik. Proses legislasi RUU Pengadaan Lahan berkembang seperti bola liar sehingga sulit diprediksi kapan RUU itu bisa berubah menjadi UU.

Lambatnya pembangunan jalan tol melalui skema PPP juga merupakan akibat adanya permasalahan institusional. Pertama kurangnya sistem yang terintegrasi dan koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat langsung. Seperti Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum yang membawahi BPJT, atau Kementerian Keuangan lewat BKPM untuk pendanaan proyek. Keberadaan lembaga tersebut menjadi kurang jelas dalam mekanisme hubungan kerjasamanya, meskipun secara perencanaan telah disusun oleh kementerian terkait. Demikian pula koordinasi baik secara vertikal maupun horizontal antar fungsi lembaga telah menimbulkan tidak teridentifikasinya program-program yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga. Ketidakjelasan koordinasi semakin nampak pada aspek tanggung jawab, wewenang, pengawasan dan evaluasi di tahap perencanaan, penyiapan pengadaan, kontrak kerjasama hingga tahapan pelaksanaan.

Kedua, banyaknya lembaga pemerintah yang terlibat dalam proses PPP dibandingkan pihak swasta. Tapi, tidak diikuti dengan mekanisme yang jelas atas alokasi peran, tanggung jawab, resiko dan kemanfaatan. Dalam mekanisme antar lembaga pemerintah pun tidak nampak secara jelas sehingga berpengaruh terhadap kepastian skema kepada swasta. Siapa melakukan apa menjadi tidak jelas sehingga mengakibatkan tumpang tindih peran dan tanggung jawab.

Ketiga, tidak jelasnya fungsi Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) dalam kerangka pelaksanaan PPP. Fungsi BPJT menjadi ambigu dalam pengadaan jalan tol kaitannya antara tanggung jawab dan wewenang yang dimiliki. BPJT tidak memiliki wewenang dalam membuat keputusan final yang menjadi kekuasaannya. Seluruh keputusan BPJT harus melalui persetujuan Menteri Pekerjaan Umum. Hal ini dikuatkan dalam Peraturan Menteri No. 295/PRT/M/2005 yang menyatakan bahwa BPJT adalah lembaga non-struktural di bawah Menteri dan bertanggung jawab kepada Menteri PU.

Di tengah rumitnya permasalahan ini, kita berharap pelaksanaan pembangunan infrastruktur melalui skema PPP tetap berjalan dengan berbagai pembenahan. Keberhasilan PPP juga sangat penting untuk didukung dengan kebijakan ekonomi yang baik. Semakin kondusifnya iklim bisnis yang dibangun pemerintah akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang semakin baik. Hal ini menjadi sinyal dari prospek kebutuhan pembangunan infastruktur yang semakin besar sehingga mendorong pihak swasta dalam negeri terlibat dalam program ini.

Budi Nofianto, Penulis penggiat Pantura Institute

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline