Lihat ke Halaman Asli

Alifian Maulana Nanda Pradana

Mahasiswa Pascasarjana

Asas Retroaktif (Ex Post Facto) dalam Argumentasi Hukum: Perspektif Pemberi Argumentasi

Diperbarui: 13 September 2023   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Asas hukum Retroaktif atau Ex Post Facto adalah asas yang dilarang di sebagian besar Negara di seluruh dunia terutama dalam kasus pidana berat seperti pidana yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) yang disidangkan oleh Pengadilan HAM dan Ad Hoc. Urgensi tersebut dikarenakan kejahatan HAM merupakan kejahatan yang sifatnya meluas dan jumlah korbannya banyak dalam artian luas terdapat kepentingan public dimana Ex Post Facto diberlakukan. Perlu diketahui bahwa hukum retroaktif terbagi menjadi 2 (dua) macam yakni Hukum Retroaktif Sedatif dan Hukum Retroaktif Ased, hal tersebut bergantung kepada Undang-undang baru yakni UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP bekerja pada sebuah fakta kasus yang telah berakhir ataukah kasus tersebut masih berlangsung hingga saat ini.

Bagaimanapun hukuman pidana adalah asas legalitas, bukan terjadinya suatu kasus yang membuat suatu perubahan dalam hukum pidana yang tidak lebih dari membenarkan isi hukum. Dalam system hukum Indonesia suatu Pledoi yang menerapkan pembelaan fakta-fakta persidangan yang menimbulkan suatu penyebab tindakan. Sehingga cukup mensyaratkan bahwa suatu pengaduan harus menegaskan penyebab tindakan yang diakui secara hukum dan harus menyatakan fakta yang membawa kasus tertentu ke dalam penyebab tindakan tersebut.

Lebih jauh lagi berkenaan dalam hukum Pidana Ex Post Facto menimbulkan ketidakpastian hukum dari awalnya yang hukumannya ringan menjadi lebih berat karena terjadinya suatu kasus (Double Jeopardy). Selain itu hal negative yang terjadi dapat mengkriminalisasi tindakan setiap orang yang dianggap lumrah menjadi tindak Pidana. Dalam kasus seperti ini umumnya hukuman yang diberlakukan kepada pelaku kejahatan adalah hukuman yang lebih menguntungkan atau dengan kata lain tidak boleh lebih tinggi dari ketika hukuman tersebut dijatuhkan. Dalam prinsipnya hal ini disebut sebagai Lex Mitior (hukum yang lebih meringankan). Sejauh pemahaman penulis terdapat suatu prinsip yang cukup dikenal dan secara tidak langsung berpengaruh dalam pembelaan seorang pelaku pidana, yakni "Nulla Poene Sini Lege" yang berarti seseorang tidak dapat dihukum karena sesuatu yang tidak dilarang oleh undang-undang.

 Dalam konsepsinya Nulla Poene Sini Lege  menjadi 4 (empat) bagian yang diterima di beberapa Negara demokratis modern. Pertama, Nulla Poena Sini Lege Praevia, yang berarti tidak ada hukuman tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua, Nulla Poena Sini Lege Stricta, yang berarti tidak ada hukum tanpa hukum yang pasti, yang melarang analogi dalam penerapan perundang-undangan hukum pidana. Ketiga, Nulla Poena Lege Scripta, yang berarti tidak ada hukum tanpa hukum tertulis. Keempat, Nulla Poena Lege Certa, yang berarti tidak ada hukuman tanpa hukuman yang jelas.

Contoh konkrit dari hukum Ex Post facto terjadi pada Amnesti yang diberikan oleh Presiden sebagai hak yudisialnya kepada seorang pelaku hukum tertentu. Temuan tersebut dapat kita lihat dimana seseorang yang mendapatkan hukuman mati berubah menjadi pidana seumur hidup.  

Dari kejadian di atas hukum Ex Post Facto selain berpotensi memiliki tindakan yang salah dalam perilaku, maka juga berpotensi terhadap kekeliruan pemikiran (fallacy) dari masyarakat awam yang tidak mengerti karena dampak buruk yang ditimbulkan dari hukum Ex Post Facto. Salah satunya adalah Silogisme Entimem yang hanya sepotong-sepotong berujung kepada Argumentasi yang tidak valid (Paralogy). Dari kejadian yang sifatnya bersinggungan dengan politik dan hukum. Maka, masyarakat awam yang tidak mengetahui hukum dan Politik di Indonesia akan berkata "Keadilan itu salah dan Politik itu Buruk". Paralogy semacam ini adalah paralogi yang umum ditemukan di Indonesia, hal tersebut digunakan dalam wacana sebuah media massa untuk mengacaukan dan mengaburkan pandangan publik dalam mengambil kesimpulan dari silogisme yang benar dengan menyembunyikan suatu premis. Seharunya premis yang benar adalah Peradilan seringkali mengambil suatu Putusan sebagai suatu keadilan, banyak Politisi yang buruk dalam kasus Ex Post Facto amnesti adalah Presiden. Padahal kekuasaan kehakiman dan kekuasaan Presiden adalah 2 (dua) buah kekuasaan yang terpisah.

Kembali kepada pertanyaan bahwa dalam sudut pandang yang berhak memberikan argumentasi hukum yakni profesi Advokat itu sendiri. Penulis memiliki narasi dimana hukum Ex Post Facto ini dapat membebaskan seseorang dari dakwaan atau tuntutan hukum. Contohnya adalah si X adalah seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Rusia selama 7 (tujuh) tahun terakhir, dirinya selama beberapa tahun terakhir mengkonsumsi obat-obatan yang terindikasi sebagai New Psychoactive Substance (NPS) dikarenakan pekerjaannya yang kerap mendapatkan tekanan sehingga dapat mengalami stress, obat anti-depresan tersebut adalah Amineptine dalam jumlah yang massif dan diperoleh dari Psikiater disana. Pada tahun tersebut juga dirinya memutuskan untuk kembali ke Indonesia, dan sesampainya di Indonesia pihak Bea Cukai mendeteksi adanya zat yang tidak wajar di dalam tasnya dan mencoba menghubungi Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan dibuktikan melalui tes urine positif sebagai jenis Narkotika.

Maka dalam sidang pledoi maka kasus ini seharusnya dapat dimenangkan oleh si X dan pengacaranya dan si X hanya wajib menjalani rehabilitasi saja. Hal tersebut dikarenakan Amineptine belum termasuk 91 daftar hitam NPS yang dilarang beredar oleh Permenkes maupun Narkotika Golongan II maupun Golongan III dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika menurut Indonesia Drug Reports 2023  yang dirilis oleh BNN, dimana terdapat 1150 jenis NPS yang tersebar di 37 Negara di dunia, sedangkan di Indonesia sendiri 85 dari 91 NPS tersebut yang baru didaftarkan ke Kementrian Kesehatan, yang mana secara matematis terbuka peluang untuk 1059 NPS tersebut beredar tanpa terdeteksi. Prinsip yang mendukung, yakni Nulla Poena Sine Culpa yang berarti tidak seorangpun atas sesuatu yang bukan kesalahnnya jika dilihat dari narasi dia mendapatkan resep dan obat tersebut dari seorang psikiater di Rusia.

Pada pertanyaan apakah Argumentasi Hukum bisa berlaku Ex Post Facto ? maka jawaban pribadi maka jawaban penulis bergantung kepada Jenis Sistem Hukum dan Konstitusi Negara masing-masing di dunia, yang tidak menutup kemungkinan untuk dikatakan "bisa". Jika pertanyaannya Indonesia maka sejauh ini telah dijawab diatas pada Pengadilan HAM terkait tindak pidana Terorisme yang dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir pada 2002 dan sampai saat ini kasus masih menjadi satu-satunya tersebut yang bersifat Ex Post Facto.

Namun, jika ditanya di luar Indonesia maka penulis meembaginya kedalam beberapa kategori. Pertama, Negara yang benar benar memperbolehkan hukum Ex-Post Facto seperti Albania, India dan Israel. Kedua, Negara yang memperboleh hukum Ex-Post Facto namun telah menandatangani perjanjian Internasional dan meratifikasinya maka hukum Ex-Post Facto tersebut dilarang dan tidak berlaku lagi seperti Britania Raya dan Lithuania. Ketiga, Negara yang secara parsial memberlakukannya untuk Hukum Pidana, namun tidak untuk Hukum Perdata seperti Finlandia dan Rusia. Keempat, adalah antitesa dari kategori ketiga yakni diberlakukan untuk hukum Perdata, namun tidak untuk Hukum Pidana seperti Hungaria, Swedia, dan Prancis. Kelima, adalah keterbalikan dari kategori kedua yakni melarang hukum Ex Post Facto dalam konstitusinya namun diperbolehkan jika melanggar hukum Internasional seperti Afrika Selatan.  Keenam, melarang hukum Ex-Post Facto dengan syarat limitatif dan dengan kualifikasi keadaan yang mendesak seperti Vietnam. Ketujuh, melarang secara parsial karena negaranya bersifat federal seperti Jerman dan Amerika Serikat. Kedelapan, melarang secara total baik Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Administratif seperti Iran dan Portugal.

Melakukan pembelaan dengan argumentasi hukum di Negara yang mengizinkan hukum Ex Post Facto merupakan tantangan yang amat serius. Karena dalam hal ini dibutuhkan ahli hukum yang kompeten, senior, dan berpengalaman. Secara strategi peluang untuk memenangkan kasus memerlukan pemahaman dar beberapa pembelaan kasus sukses melalui Banding dengan situasi khusus yang memerlukan kecermatan terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan dan diterapkan secara Ex Post Facto tersebut. Peluang untuk memenangkan kasus akan tipis dan terbatas jika asas Ex Post Facto termaktub dalam konstitusinya. Sehingga, selain memberikan argument penasehat hukum juga perlu menghubungi Organisasi Hak Asasi Manusia sebagai saksi yang meringankan manakala hak dalam peradilan orang tersebut dilanggar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline