Hilangnya akal sehat dan sifat adil warisan Pilpres 2014, membawa praktek demokrasi kita menuju tingkat kebathilan yang cukup parah dalam lanskap menuju kontestasi di 2019.
Saat itu, ketika mulai banyaknya serang menyerang dengan isu kampanye hitam (black campaign), mulai dari menyeret politik identitas para tokoh, disinformasi yang tak sesuai dengan fakta lapangan, hingga penyesatan opini yang menimbulkan sebuah efek yang tentunya berkelanjutan.
Sehingga di era digital nan semakin pesat saat ini, "kekacauan" tentang semakin banyaknya masyarakat yang menyebarkan berita hoaks dan menyerang masing-masing kubu, membuat praktek demokrasi kita semakin jauh dari kata maslahat.
Hal seperti ini semakin kuat terjadi dikarenakan kesadaraan akan akal sehat dan sikap adil semakin hari kian menipis oleh masyarakat kita. Dan itu sendiri disebabkan hanya karena perebutan kekuasaan politik yang diperjuangkan mati-matian oleh masing-masing kelompok yang berkompetisi.
Sejatinya, kontestasi politik memang sebuah kompetisi di mana dua kubu atau lebih memperebutkan suatu kekuasaan dalam pemerintahan. Tapi di era kontemporer kali ini, pengertian dasar politik bahwa politik itu adalah upaya untuk mencapai kemaslahatan bersama, malah seperti terlupakan - karena kita sendiri sadar dan melihat - bahwa perspektif politik masa kini hanyalah sebuah siasat untuk menggapai suatu kekuasaan. Tapi apakah siasat itu didapatkan dengan cara yang baik atau malah sebaliknya?
Dalam lingkup saat ini mungkin saja mendapati siasat itu dengan hal baik pastinya ada, tapi tentunya, itu tidak mengurangi bahwa banyak juga yang berlomba-lomba menggapai kekuasaan dengan cara yang buruk. Dan itu pun terjadi ketika kalender kompetisi Pemilihan Umum belakangan ini dimulai - yang tentu genealogi garis start-nya dimulai pada saat Pilpres 2014.
Saat para masing-masing pendukung para paslon itu terpolarisasi, terlihatlah parameter apa yang mereka tampilkan dalam proses memenangkan para paslon tersebut untuk menjadi pemenang dalam pemilihan elektoral.
Bisa jadi mereka lebih banyak menampilkan visi-misi atau prestasinya. Namun adakalanya beberapa pihak malah menayangkan serangan yang bersifat sentimental kepada saingan mereka dalam kontestasi tersebut.
Sehingga yang diserang itu pun terpancing, dan pada akhirnya, kontestasi yang seharusnya dijadikan ajang adu gagasan, malahan dijadikan sarana untuk saling serang menyerang sesuatu yang bersifat personal dan saling fitnah satu sama lain.
Masyarakat akhirnya dipertontonkan sebuah lakon politik yang tidak sehat untuk di lihat. Dan karena pertunjukan yang tidak memakai objektivitas berdasarkan akal sehat itulah yang membuat rasionalitas dari masyarakat semakin hari kian terkuras.
Ditambah lagi masyarakat malah mengikuti arus tersebut dan malah terjerumus ke dalam kontes saling sikut dengan melakukan hal "sesat" seperti yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memelopori "kesesatan" itu. Hal seperti inilah yang sangat membahayakan bagi demokrasi kita jika perilaku tersebut masih dijadikan hal yang lumrah di setiap kontes politik negeri ini.