Anggap saja, hari ini adalah tanggal 16 Mei 2016 yang lalu. Saat para siswa-siswi SD sedang bekutat dengan soal-soal UN yang menjadi penentuan, seakan-akan berada di ambang kematian. Kebanyakan siswa/i mungkin akan serius belajar dan les ke sana ke sini. Tapi, beda dengan adik-adik kelasku.
Tak ada wajah khawatir, tidak ada sikap serius, tidak ada rasa tegang. Mereka semua bersikap santai seolah tak ada hal besar yang sedang menantinya di esok hari.
Saat belajar pun, yang sibuk bolak-balik buku dan khawatir adalah aku, kakakku, dan seorang guru yang mengajari mereka. Sementara kami yang sibuk bolak-balik buku dengan mulut yang terus-terusan menjelaskan, mereka malah asik dengan dunianya sendiri. Ada yang ngobrol, ada yang mainan pensil, ada yang tiduran. Memang, ada yang mendengarkan, tapi, begitu ditanya apa mengerti dengan penjelasan yang baru saja dijelaskan dan diminta untuk menjelaskannya ulang. Hasilnya nihil.
Mereka selalu bilang kalau mereka bisa, bisa, bisa, dan bisa. Tapi, apa memang akan benar-benar mendapatkan hasil akhir yang memuaskan(?) Terkadang, suka heran sendiri melihat tingkah mereka yang benar-benar bersikap "tak peduli".
Mereka menganggap remeh, mereka menganggap enteng, mereka menganggap kalau UN seperti pergi ke warung padang. Setelah menikmati makanan dan membayar, selesai!
Sempat aku bertanya, kemana mereka akan masuk SMP nanti. Beberapa anak menjawab akan masuk ke sebuah SMP yang memang terkenal di tempat tinggalku. Anak-anak pintar dan memiliki danem tinggi masuk di sana. Senang mendengarnya, kalau mereka berniat masuk ke SMP itu, berarti mereka punya niatan untuk harus mendapat nilai yang memang "memuaskan". Tapi, begitu melihat sikap mereka yang begitu santai kek di pantai, aku jadi ragu. Apa bisa dia masuk ke SMP itu kalau rumus volume kubus saja tak tahu(?)
Santai memang boleh, tapi kalau terlalu santai hingga akhirnya tidak belajar itu yang tidak boleh. Berharap mendapat hasil memuaskan dan masuk ke sekolah favorit tapi tidak ada usaha untuk itu, maka sia-sia. Seperti sebuah peribahasa, "bagai pungguk merindukan bulan"
Mereka mendapat kemenangan palsu. Kemenangan yang hanya ada di angan-angan, namun tidak di kenyataan. Saat aku, kakakku, dan guru yang mengajari mereka sibuk bertanya apa bisa mengerjakan soal ujian tadi. Mereka juga bersikap santai.
Hasil akhir memang milik mereka, tapi entah kenapa, yang justru khawatir dan galau malah yang mengajari mereka(?)
Orang-orang memang biasanya seperti ini. Menganggap remeh sesuatu, lalu di akhir menangis pilu.
Mereka berangan-angan masuk SMP favorit dan mendapat nilai yang tinggi. Tapi kalau ternyata usahanya tak sebanding dengan yang diinginkan. Maka itu hanya sebatas mimpi dan kecil kemungkinannya akan menjadi kenyataan.