Lihat ke Halaman Asli

Ibu, Aku anakmu Merindukanmu

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dingin menusuk ramadhan musim kemarau, hujan walau panas. Hari ini matahari tak juga melirik suasana dingin tetap menusuk diantara lapar-lapar saum bulan ini. Dingin ini seperti dinginnya kehidupan kami, kehidupan yang siapapun tak mengira. Kelam bersama teman-teman yang bernasib sama, jauh dari kata “bahagia”.
Negeri ini melimpah, namun siapa sangka terlalu memanjakan diri terlena. Terlena dengan gelimang harta sampai tak sangka negeri ini mempunyai penjahat yang menangkap penjahat, dan penghasut menangkap penghasut melakukan skenario yang begitu indah sehingga entah siapa menang siapa kalah, rakyat akan lupa. Akhirnya, terbengkalai terkatung tertutup kasus lain.
Disisi lain kami tinggal jauh dari ibukota, kami tak merasakan hiruk pikuk kesibukan ibukota, tetapi kami merasakan bagaimana segalanya merupah menjadi segalanya yang lain. Kebanyakan ibu tak lagi menimang anaknya dengan tenang, susunya tak keluar deras untuk anaknya. Sibuk, mengais rejeki mengikuti arus modernisasi. Melupakan jati diri, mengira tak makan bila tak kerja, semuanya hanya menuntut kami untuk hanya bisa bekerja, makan dan membeli ini itu. Pendidikan kami hanya alat formalitas belaka. Cukup, bekerja atau menjadi buruh itulah pemikiran kami kebanyakan.
Kami tak lagi memikirkan bagaimana kami harus bersikap den berfikir panjang, kami seperti bangsa yang bodoh. Mudah sekali terobori bahkan mempercayai dan terhasut oleh kabar yang belum tentu benar. Jangankan kami memikirkan masalah agama kehidupan saosial dan etika kehidupan saja kami acuhkan. Bahkan embel-embel etika yang masuk dalam system kami hanya formalitas belaka setelah jutaan pemuda-pemudi gagal melakukan peran sosial.
Ada kebanyakan dari kami yang membunuh karena hal sepele, otak kami mudah sekali buntu. Entah, makanan apa sehingga kami bisa seperti ini. Negeri ini kehilangan I’tikad baiknya, negeri ini kehilangan pemikir dan manusia-manusia yang senantiasa berkerja atas dasar agama dan nurani.
Negeri ini kehilangan ibu. Ibu yang memberikan pendidikan kepada anaknya. Negeri ini kehilangan wanita, wanita yang tak hanya memikirkan tubuhnya, nafsunya atau syahwatnya. Wanita – wanita negeri ini hanya sibuk memenuhi fitrahnya berkelibat mempercantik diri, berbelanja dan menggait lelaki demi harta. Anak-anak yang muncul dari Rahim mereka terlantar terhempas arus modernisasi, malas, dan entah mau apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline