PENDAHULUAN
Saat ini, era perkembangan tekonologi tidak dapat dibendung lagi. Anak-anak dan remaja yang notabene masih berstatus sebagai siswa telah terampil dalam menggunakan teknologi. Anak-anak dan remaja yang demikian disebut dengan generasi Z. Generasi Z sendiri adalah anakanak yang lahir pada sekitar tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Dalam Saragih (2012) dijelaskan bahwa generasi Z yaitu anak yang sangat melek teknologi atau net generation. Mereka lebih menyenangi berinteraksi dengan komputer dan berkomunikasi dengan sistem online sehingga mereka punya kecenderungan untuk tidak bertemu dengan temantemannya.
Generazi ini memiliki ciri khas dimana internet telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan media elektronik dan digital. Anak-anak dapat dengan mengakses informasi dengan cepat dan mudah. Hal tersebut menyebabkan anak-anak tidak sabar untuk menunggu proses. Anak-anak selalu mengandalkan jawaban dari setiap pertanyaan dan tantangan hidup dari informasi-informasi yang ada di internet. Mereka tidak mengetahui bahwa tidak semua persoalan hidup bisa diatasi dengan teknologi. Beberapa persoalan hidup yang harus dipecahkan melalui proses yang panjang oleh dirinya sendiri, melalui perenungan, usaha fisik, usaha psikis, dan juga memerlukan bantuan orang lain secara nyata, bukan maya.
Anak-anak yang termasuk generasi Z sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan internet, BB, facebook, dan twitter. Mereka hidup dalam budaya yang serba cepat, sehingga tidak tahan dengan hal-hal yang lambat. Mereka adalah anak-anak dari budaya instan yang serba ingin berhasil dalam waktu cepat dan kalau bisa tanpa usaha keras. Anak-anak ini sering mengerjakan berbagai persoalan dalam satu waktu. Kalau mereka mengerjakan PR, mereka sekaligus juga membuka web lain, sambil masih bicara dengan teman lewat HP, dan ceting dengan teman lain lagi lewat facebook. Perhatiannya biasa terpecah dalam berbagai hal. Dalam mempelajari suatu bahan mereka tidak mau urut, kadang dari belakang, kadang dari tengah, kadang dari muka, dll. Ini berarti bahwa model pendekatan linear dapat kurang tepat bagi mereka. Kemajuan teknologi internet dan media, menjadikan anak sekarang dipenuhi dengan berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia. Mereka dipenuhi dengan berbagai informasi baik yang sesuai dengan moral kita atau tidak. Jelas di tengah kekacauan infomasi dan nilai ini mereka dituntut mempunyai ketrampilan menganalisis secara kritis, memilih secara bijak, serta mengambil keputusan bagi hidupnya.
Sebenarnya anak-anak Indonesia zaman ini menghadapi norma budaya ganda. Di satu sisi realitas hidup menuntut mereka untuk mandiri, mampu berkompetisi, mampu membuat pilihan atas aneka hal yang ditawarkan, tetapi di sisi lain masyarakat masih belum memberikan bekal yang memadai bagi anak-anak untuk mampu hidup secara mandiri. Proses pendidikan anak masih menekankan pentingnya kontrol eksternal, bersifat dogmatis, dan indoktrinasi. Baik orangtua maupun sekolah pada umumnya belum sepenuhnya mengajarkan anak untuk mampu berpikir secara mandiri, menguji, dan mengevaluasi diri, serta mengembangkan pribadi yang otonom
(Susana, 2012).
Selain itu, adanya globasisasi, modernisasi, MEA dan perkembangan ipteks menuntut generasi Z agar dapat menjalani kehidupan yang lebih kompleks, lebih rumit dan lebih cepat. Di era MEA, situasi kehidupan semakin kompleks, penuh peluang dan tantangan. Masyarakat dunia dituntut untuk memiliki kompetensi agar dapat berkembang secara dinamis, produktif dan mandiri (Irvan & Nindiya, 2016: 157). Oleh karena, baik keluarga maupun sekolah harus dilakukan upaya untuk penyiapan SDM generasi Z yang bermutu, yaitu yang mampu hidup secara mandiri pada era digital.
Pemenuhan tuntutan ini tidak terlepas dari peran pendidikan. SDM yang bermutu dapat tercapai melalui pendidikan yang bermutu (Caraka & Nindiya, 2015: 55). Hal ini sejalan dengan pernyataan Juntika (2011) bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik memenuhi kebutuhannya, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.
Menurut Tilaar dalam Juntika (2011), untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu, diperlukan proses pendidikan yang bermutu. Kemampuan yang diberikan melalui proses pendidikan bermutu tidak hanya menyangkut aspek akademis saja, tetapi juga menyangkut berbagai aspek kehidupan yang komprehensif yakni perkembangan pribadi, sosial, kematangan individu, dan sistem nilai.
Pendidikan merupan sebuah sistem dengan beberapa bagian yang saling terintegrasi. Bimbingan dan konseling sebagai bagian integral proses pendidikan memiliki kontribusi dalam penyiapan SDM generasi Z yang bermutu. Dalam perspektif bimbingan dan konseling, peserta didik merupakan individu sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Menurut Caraka & Nindiya (2015: 55), untuk mencapai kematangan, individu memerlukan bimbingan, karena masih kurang memahami kemampuan dirinya, lingkungannya dan pengalaman untuk mencapai kehidupan yang baik (menjadi SDM bermutu).
Untuk mencapai kematangan, peserta didik sebagai generasi Z tidak terlepas dari pengaruh lingkungan fisik, psikis maupun sosial (Caraka, 2015: 93). Lingkungan yang sarat dengan teknologi dapat dengan mudah mempengaruhi gaya hidup, sifat, perilaku bahkan mindset seseorang. Iklim perkembangan teknologi sering berlangsung kurang sehat. Iklim lingkungan yang kurang sehat ternyata mempengaruhi perkembangan pola perilaku atau gaya peserta didik (remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral, seperti pelanggaran tata tertib sekolah, tawuran, meminum minuman keras, penyalangunaan obat-obat terlarang, kriminalitas, dan pergaulan bebas.