Lihat ke Halaman Asli

Fidelis Harefa

Info Singkat

Hukuman Mati: Pembunuhan yang Dilegalkan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421686106646226814

Kontroversi tentang Hukuman Mati menjadi Featured Artikel Kompasiana selama dua hari ini (berdasarkan pengamatan saya). Bila bertanya soal setuju atau tidak, di sinilah ada situasi pro dan kontra. Menurut pemahaman saya, bukan soal setuju atau tidak yang menjadi pokok permasalahan. Karena, bukan berarti kalau ada yang setuju pada hukuman mati, mereka tidak mempunyai rasa kemanusiaan, sebaliknya mereka yang tidak setuju adalah orang-orang mulia yang toleransinya tinggi terhadap sesama. Beberapa hal berikut mungkin membantu untuk menemukan masalah.

Pergeseran Nilai

Bila bertanya secara sederhana, apa bedanya hukuman mati dengan pembunuhan? Saya lebih cenderung menjawab, hukuman mati adalah pembunuhan yang dilegalkan. Dan ternyata jawaban saya ini mengiris relung jiwa yang haus akan jawaban dan pencerahan tentang hukuman mati. Kontroversi yang ada tidak pernah menghasilkan sebuah kepastian jawaban "soal setuju atau tidak". Dengan berbagai argumen dan latar belakang pemikiran membangun sebuah konsep untuk melegalkan pembunuhan jenis ini. Mulailah para pakar hukum berbicara seputar Kaidah Dasar yang menjadi falsafah dan ideologi bangsa. Ramai berbicara tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Disebutlah landasan konstitusi kita UUD 1945 yang telah melindungi HAM. Tidak cukup sampai di situ, Undang-Undang HAM pun diterbitkan, mempertegas bahwa manusia harus tetap dihargai. Tapi, disisi lain, Ius Constitutum, warisan kolonial itu masih tetap mematri tentang Hukuman Mati itu dalam pasal-pasalnya. Ius Constituendum tinggal istilah berisi madat yang memberi harapan bahwa segala aturan di negeri ini akan disesuaikan berdasarkan pola perilaku masyarakat Indonesia, bukan warisan dari kolonial itu.

[caption id="attachment_347034" align="aligncenter" width="465" caption="Gambar dari plus.kapanlagi.com"][/caption]

Pergeseran Nilai telah mewarnai pola perilaku bangsa ini. Nilai kehidupan hampir tidak menjadi topik menarik yang secara terus-menerus seharusnya perlu diingatkan. Bila bersentuhan dengan nilai hidupnya sendiri, atau bila bersinggungan dengan haknya sebagai manusia, mulailah dia berteriak minta pertolongan. Tapi bila hal itu hanya menyinggung hak orang lain, mulailah membangun rasa tidak peduli dengan berbagai pembenaran diri. Yah, sangat manusiawilah hal itu di mata sebagian orang. Keluarlah alasan ke-bhinekaan, yang membangun ruang di mana tidak pernah terjadi sepakat. Sementara semua itu berlangsung, nilai-nilai kehidupan semakin terinjak-injak, memuncak pada pembunuhan yang dilegalkan ini.

Mulai Mengonsep Tuhan

Akhir kehidupan manusia, diterjemahkan sebagai kehidupan abadi di surga. Maka, manusia mulai menterjemahkan surga dalam relasi manusia dengan Tuhan, yang sesungguhnya ini adalah urusan pribadi. Sampailah kepada kesimpulan bahwa manusia berdosa tidak layak masuk surga dan harus dibunuh. Banyak orang merasa sudah pernah ke surga, lalu kembali ke bumi untuk menceritakan yang cocok dan yang tidak cocok untuk masuk surga. Benarkah bahwa yang salah di mata manusia, salah di mata Tuhan? Adakah jaminan bahwa mereka yang memberikan hukuman mati itu adalah warga surga kelak? Lalu darimana kuasa untuk mengakhiri hidup sesama itu berasal?

Tiga tulisan saya sebelumnya sangat erat hubungannya dengan tulisan saya ini. Berbicara tentang manusia sebatas seonggok daging, konsep para filsuf tentang manusia dan bagaimana manusia di hadapan Tuhan, sang penciptanya. Tiga tulisan itu merupakan penghantar bagi saya untuk menggoreskan sedikit pendapat saya tentang hukuman mati itu. Dan ketika manusia mulai menggantikan Tuhan, maka perampasan hak Tuhan pun mereka lakukan.

Hukuman Mati adalah Pesan dari Tuhan

Secara pribadi, saya tidak sependapat dengan pernyataan seorang pakar hukum ternama Indonesia pada acara televisi KickAndy, ketika mengetengahkan topik tentang Hukuman Mati. Dalam pernyataannya (beliau) mengatakan: Hukuman mati itu pun merupakan pelaksanaan pesan dari Tuhan. Benarkah demikian? Paling tidak, bila benar itu merupakan pesan dari Tuhan, mengapa hanya sebagian orang yang tahu dan sebagian orang tidak. Lalu mengapa sebagian orang setuju dan sebagian orang tidak. Bila kerangka berpikir itu hanya sebatas hukum dan hukum, tidak usahlah melibatkan Tuhan untuk mendukung pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah ini. Popularitas tidak boleh digunakan sebagai cara untuk melegalkan hal-hal yang bukan urusan manusia.

Hukuman Mati dalam Ajaran Agama (Sharing)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline