Lihat ke Halaman Asli

Fidelis Harefa

Info Singkat

Menulis di Medsos, Tidak Cukup 5W+1H

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1422890070538722830

Latar belakang memperjuangkan kebebasan pers yang pernah terjadi dalam sejarah adalah agar setiap informasi dihargai sebagai hasil karya yang punya arti. Juga, dalam rangka pembebasan pers dari belenggu kekuasaan pemerintah yang waktu itu terlalu banyak mengatur tentang pers. Pada tulisan saya "Sepuluh Pedoman Penulisan tentang Hukum" beberapa hari yang lalu, saya mengatakan bahwa kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan tanpa batas. Sangat perlu memperhatikan rambu-rambu dan etika.

Akhir-akhir ini, karena pengaruh perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat, terdapat banyak orang yang memahami kebebasan berekspresi dan berpendapat secara salah, terutama di media-media sosial. Ada anggapan bahwa apa pun yang disampaikan adalah pendapat pribadi, seolah-olah tidak berpengaruh kepada orang lain. Akibatnya, memaki, melecehkan dan bahkan mengeluarkan kata-kata yang memicu perpecahan dan kekisruhan pun dianggap sah-sah saja.

5W + 1H + 1S + 1T

Seperti kita ketahui bahwa 5W+1H merupakan singkatan dari kata-kata Inggris (What, Who, Where, When, Why dan How). Kalau saya mengingat kembali ke masa lalu, saya mengenal rumus 5W+1H ini pada pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SD. Rumus ini sering diingatkan oleh Guru saya ketika mengerjakan tugas "mengarang". Agar karangan itu baik, dibuatlah lebih dahulu kerangkanya dan harus menggunakan rumus 5W+1H ini. Ketika saya mengikuti Pelatihan Jurnalistik, tingkat dasar, madya, mahir dan profesional, rumus ini selalu ditekankan terutama dalam konteks penulisan dengan bentuk piramida terbalik.

Saya ingat persis materi pelatihan jurnalistik yang dituliskan oleh Totok Djuroto lulusan dari ASW (Akademi Wartawan Surabaya) yang mengatakan bahwa di Indonesia, tidak cukup rumus 5W + 1H, tapi perlu ditambah 1S (Security) dan 1T (True). Sehingga rumusan dalam penulisan, entah itu berita majalah, berita di media online dan bahkan media sosial harus memperhatikan rumus 5W+1H+1S+1T. Hal ini ditegaskannya karena ketika menulis dalam media-media yang dimaksud, melibatkan orang banyak sebagai pembacanya. Jelas akan sangat berbeda bila menulis di buku harian (Diary), bisa sesuka hati.

[caption id="attachment_349129" align="aligncenter" width="534" caption="Ilustrasi dari talktowrite.blogspot.com"][/caption]

Inilah rumusan baru seperti dimaksud di atas:


  1. What (apa): apa yang sedang terjadi, peristiwa atau kejadian apa yang ingin dituliskan, diberitakan;
  2. Who (siapa): siapa pelaku kejadian, siapa saja yang terlibat di dalam peristiwa itu;
  3. Where (di mana): di mana peristiwa itu terjadi;
  4. when (kapan): hal ini berkenaan dengan waktu kejadian berlangsung;
  5. Why (mengapa): latar belakang, penyebab atau pemicu terjadinya suatu peristiwa;
  6. How (bagaimana): bagaimana peristiwa itu terjadi, perlu diceritakan sebagai penggambaran singkat agar pembaca memahami konteks informasi yang disampaikan;
  7. Security (aman): Kemananan (aman bagi keseluruhan) artinya, apakah data yang kita ambil dari peristiwa atau kejadian itu bilak kita jadikan berita kemudian kita siarkan, bisa menjadi aman. Atau mungkin akan menimbulkan kekisruhan, perpecahan dan pertikaian. Jangan-jangan informasi yang kita sampaikan melahirkan masalah atau peristiwa baru yang lebih parah.
  8. True (kebenaran): informasi harus benar. Banyak kejadian atau peristiwa atau pendapat orang yang (dikira) merupakan fakta tetapi ternyata banyak mengandung kebohongan. Bila fakta itu kita gunakan sebagai data utama kita, berarti kita pun sedang memberikan informasi yang mengandung kebohongan.


Ada begitu banyak masyarakat kita yang resah dan tidak aman karena begitu banyaknya informasi yang disajikan tidak memperhatikan dua elemen terakhir ini (S dan T). Sekarang, di berbagai pelosok tanah air terkenal istilah yang sedang trend "wartawan bodrex" dan "media bodrex". Bahkan, beberapa hari lalu, ada Kompasianer yang mengulas tentang "bodrex" ini. Menurut pengamatan saya, istilah ini lahir karena para penyaji informasi tidak setia pada aturan dan pedoman-pedoman yang sudah ada. Kita boleh saja menemukan atau membuat pedoman baru, tapi saya pikir, sebuah pedoman itu dinyatakan sebagai sebuah pedoman standar karena telah teruji dan telah dipertanggungjawabkan oleh pencetusnya.

Bukan Hanya Para Jurnalis

Menurut Andrew Belsey, pada awalnya jurnalis ini bukanlah sebuah profesi seperti dokter, jaksa, hakim dan lain sebagainya. Dalam jurnalnya berjudul "Ethical Issues in Journalism and the Media", Belsey menjelaskan bahwa setiap orang bisa berperan dalam dunia jurnalisme karena setiap orang tidak pernah luput dari "memberi dan menerima informasi". Tapi, kemudian, dalam jurnalnya berjudul "Ethics as a vehicle for media quality", Belsey mengatakan bahwa setelah penyajian informasi dikelola dalam bentuk lembaga resmi, maka perlu pula dibuatkan kode etiknya, sekaligus menetapkan etika profesi bagi mereka yang terlibat dalam lembaga informasi tersebut.

Bila kita merujuk pada pernyataan pertama bahwa setiap orang tidak pernah luput dari "memberi dan menerima informasi", maka pedoman-pedoman umum dalam menyampaikan informasi berlaku untuk setiap orang yang menggunakan media-media publik. Tidak hanya berlaku untuk para wartawan. Dan menurut saya, hal ini perlu sesering mungkin diingatkan kembali karena perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan setiap orang (Orang tua, remaja, anak-anak) bertukar informasi dengan bebas, kapan dan di mana saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline