Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia kembali menuai kritik, terutama dari kalangan menengah.
Di tengah upaya pemerintah memperbaiki sistem pendidikan tinggi, kebijakan ini dianggap sebagai beban tambahan yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang tidak masuk kategori miskin, namun juga tidak memiliki kemampuan finansial setara dengan golongan atas.
Kalangan menengah, yang tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan seperti KIP-Kuliah, sering kali kesulitan membayar biaya kuliah yang terus meningkat.
Mereka terjebak di antara dua kutub: tidak mampu membayar dengan mudah, namun juga tidak berhak mendapatkan bantuan.
Akibatnya, banyak yang harus mengorbankan kebutuhan lainnya atau bahkan berhutang demi biaya pendidikan anak-anak mereka.
Kenaikan UKT ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah kurang peka terhadap kondisi ekonomi sebagian besar rakyat, terutama kelas menengah. Beberapa masalah yang dihadapi kalangan ini antara lain:
1. Penetapan UKT yang tidak tepat sasaran: Banyak mahasiswa kelas menengah ditempatkan di kategori UKT yang terlalu tinggi.
2.Minimnya bantuan bagi kalangan menengah: Sementara kelas bawah mendapatkan beasiswa, kalangan menengah justru tidak mendapatkan dukungan finansial yang memadai.
3. Fokus pada fasilitas tanpa memperhatikan aksesibilitas: Peningkatan kualitas pendidikan sering kali tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat untuk mengaksesnya.
Kebijakan kenaikan UKT yang berulang kali memberi kesan bahwa pendidikan tinggi menjadi "barang mewah" yang hanya dapat diakses oleh golongan kaya.