Lihat ke Halaman Asli

Wajib Nonton: Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebelum review lebih lanjut perlu dijabarkan dulu kenapa saya tulis wajib di judul, di sana bukan berarti jika ditonton mendapat pahala dan tidak ditonton mendapatkan dosa. Tetapi definisi di sini adalah film ini wajib dikarenakan film ini membuka peluang sangat besar untuk penontonnya dalam mengevaluasi diri, termasuk recommended sangat untuk para pejabat negeri kita tercinta…

Tema/ judul yang diambil sebuah film buat saya adalah penentu apakah pesan yang disampaikan kepada pembaca bagus atau tidak. Sementara alur, penokohan, tata suara, musik, dan unsur instrinsik hanya pendukung film tersebut akan sempurna atau tidak bagi penonton. Untuk film ini, dari judulnya saja sudah menggelitik dan menggambarkan akan adanya kritik sosial bagi keadaan negeri kita yang paradoks.

Dari awal sampai tiga perempat durasi, film ini banyak mengundang tawa. Dialog-dialog yang dibangun tampak begitu mengalir dan cerdas dalam mengkritisi keadaan negeri ini yang memang ternyata lucu, sangat bertolak belakang. Dan saya mengangkat topi untuk script writernya, sangat “Dedy Mizwar” sekali untuk dialog yang diangkat.

Film ini sendiri bercerita tentang perjalanan hidup sekelompok pencopet yang seringkali kita dengar atau malah kita pernah jadi korbannya, dimana terbagi menjadi tiga kelompok pencopet, yaitu kelompok mall, angkutan kota/ bis, dan pasar. Hal-hal menggelitik dalam perjalanan mereka untuk diedukasi oleh Si Tokoh utama (Muluk), hal yang sebetulnya cukup simple dengan mengubah profesi copet digantikan dengan pengasong, dari profesi haram menjadi hallal. Mendidik mereka menjadi seseorang yang mengertimakna kehidupan dengan memeberikan pendidikan kenegaraan, agama, dan tentu saja hal mendasar yaitu membaca dan menulis. Tidak mudah ternyata membuat mimpi Sang tokoh utama untuk mengubah cara pandang mereka, terlebih mereka sudah dididik dari kecil untuk mencopet!

Di film ini ada analogi antara pencopet dan koruptor, sama-sama mengambil yang bukan haknya, yang membedakan hanya caranya. Yang satu adalah golongan yang tidak berpendidikan, sementara yang satunya lagi adalah golongan yang berpendidikan…

“Saya jugaa ingin jadi koruptorr!!!!” dialog yang diucapkan ramai-ramai oleh para pencopet yang masih kanak-kanak yang memotivasi mereka untuk belajar dan mengenyam pendidikan yang nonformal, karena dengan menjadi koruptor, terlihat lebih terhormat dan bisa mengambil uang yang bukan haknya dengan lebih banyak daripada mencopet di pasar tentu saja dengan cara yang elegan.

Atau satu adegan di mana mereka diajak ke depan pintu DPR dan ditunjukkan bahwa gedung itu adalah gedung perwakilan dari kita sebagai rakyat..

“Berarti di sana ada wakil copet..” celetuk salahsatu anak

“Hus… Tidak ada pencopet. Tak boleh mencopet disini..”

“Tapi korupsi bisa yak??”

Wow!!Dalem!!

Penokohan di film ini terlihat tampak natural. Contohnya untuk pemimpin copet mall yang bernama Glen, penggambaran fisik di perlihatkan tampak seperti orang yang gaul yang sering ada di mall, dengan rambut di cat sedikit gondrong, baju yang cukup gaul, kemudian anting besar seperti cincin menghiasi telinganya. Dan setelah dapat informasi ternyata sebagian dari mereka adalah anak-anak jalanan beneran!! Riset untuk membuat film ini tampak begitu mendalam, hal ini tampak dari cara mereka mencopet dengan professional yang seringkali kita dengar ceritanya…

Sisa durasi menuju ending, perubahan suasana begitu terasa. Yang awalnya penonton dibawa tertawa lepas menikmati setiap dialog demi dialog, adegan demi adegan, menjadi suasana yang syarat makna, membuat kita berpikir, tentang asal uang yang dikonsumsi kita hallal atau haram!! Cukup menguras air mata. Dimana idealisme, nilai agama, tata negara, kehidupan sosial, menjadi sebuah konflik klimaks dalam film ini. Penonton dibawa untuk memiliki endingnya sendiri, karena memang dalam realitanya kehidupan di negeri ini bagaikan lingkaran syetan yang sulit untuk dicari mana ujungnya dan dicari jalan keluarnya.

Di akhir film ini dituliskan UUD 1945 Pasal 34 di mana fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.. Opini publik yang tidak pernah diselesaikan dengan tuntas dan selalu mengandung dilematis bagi masyarakat dalam hidup di negaranya..

Secara keseluruhan saya beri nilai 9,7 dari 10. 0,3 di sini adalah factor X yang berupa teknis seperti tidak adanya special efek yang terkini, tapi bagi saya itu tidak perlu, karena unsur 2 yang saya sebutkan di atas sudah cukup sempurna untuk sebuah film yang memang harusnya mengedukasi masyarakat untuk cerdas, tidak seperti tema yang sering muncul dalam perfilman Indonesia pada umumnya..

Terakhir saya ucapkan Selamat menikmati karya anak negeri yang luar biasa ini ^^

Bogor, 17 April 2010 (baru posting seminggu kemudian)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline