Lihat ke Halaman Asli

Antara Ekonomi dan Perlindungan Hewan

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13672496121039591387

Pernah dengar tidak kalimat "orang itu (aktivis) lebih sayang binatang daripada kami (manusia)."? Kalimat itu saya dengar dari salah seorang ibu yang tinggal di kampung dalam hutan lindung. Sebuah kalimat opini yang keluar karena mereka tidak paham betul bahwasanya perlindungan terhadap beberapa jenis binatang sangat diperlukan. Merasa tidak disayang atau dirugikan karena salah satu sumber pendapatan mereka adalah dari perdagangan binatang. ** Seorang yang dikenal dengan sebutan Limbad mengizinkan warga untuk mengunjungi ‘Kebun Binatang Mini’ miliknya dengan membayar Rp5.000/2orang. Warga juga sudah mengenal tempat tersebut sebagai kebun binatang kecil di kawasan Aceh Selatan tepatnya di daerah Kandang. Dengan luas area kurang dari 1 hektar hidup berbagai jenis hewan, bahkan beberapa hewan yang langka dijumpai dapat dilihat disini. Sebut saja Beruang Madu dan Orangutan, selain itu terdapat pula Kucing Hutan, Elang, Buaya, Burung Hantu, Lutung, Labi-labi raksasa, Ular Cobra dan Piton. Saya masuk kedalam Kebun Binatang yang terletak diujung kota Kandang dan berada dekat dengan makam seorang Teuku salah satu keturunan Raja Trumon, yakni Teuku Cut Ali. Beberapa orang juga mengenal Kebun Binatang ini sebagai Kebun Binatang Cut Ali. Bau tidak sedap sudah tercium saat memasuki wilayah ini, dan disambut oleh seekor lutung bersembunyi malu dibalik batang pohon besar yang sedang duduk diatas ban dengan tali kuning dilehernya. Takjauh dari itu terdapat 3 ekor beruk yang berada didalam kandang berukuran sekitar 1x2meter. Disini juga terdapat beberapa burung bangau, kura-kura, kukang dan ayam-ayam hutan. [caption id="attachment_257974" align="aligncenter" width="300" caption="Seekor lutung di depan kandang merpati"][/caption] [caption id="attachment_257976" align="aligncenter" width="300" caption="Kandang Beruk (diatas parit)"]

13672499441745402465

[/caption] Setelah masuk lebih dalam barulah saya paham ternyata bau tersebut dari parit hitam dilokasi, juga kandang hewan yang tak kunjung dibersihkan. Miris hati melihatnya, terlebih-lebih terdapat anak beruang berumur 6bulan disini. [caption id="attachment_257977" align="aligncenter" width="300" caption="Orangutan kecil berbagi tempat dengan sampah"]

1367250093529819905

[/caption] [caption id="attachment_257978" align="aligncenter" width="300" caption="Beruk jantan"]

13672501911537214940

[/caption] [caption id="attachment_257981" align="aligncenter" width="300" caption="Anak Beruang Madu berumur 6bulan (april 2013)"]

13672507342115961483

[/caption] Limbad sebenarnya sangat ingin untuk menjadikan tempat ini sebagai Kebun Binatang yang didukung oleh Pemerintah Daerah, namun jika merujuk pada Peraturan Mentri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.31/Menhut-II/2012 Pasal 1 ayat 7 menyatakan bahwa Kebun binatang adalah tempat pemeliharaan satwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas taksa pada areal dengan luasan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hektar dan pengunjung tidak menggunakan kendaraan bermotor (motor atau mobil). Selanjutnya pada Pasal 9 menyebutkan Kriteria Kebun Binatang ( silahkan klik link ini untuk membaca lebih lanjut : http://www.dephut.go.id/apl/uploads/P.31_2012_Lembaga_Konservasi_.pdf) dapat kita simpulkan bahwa tempat tersebut belum bisa disebut Kebun Binatang, bahkan ‘Kebun Binatang mini’ sekalipun. Ia telah melakukan upaya-upaya untuk mengurus izin tetapi tak kunjung didapatkan. Dari pihak Pemerintah Daerah tidak merespon, begitupula dengan pihak BKSDA; tidak ada tindakan tegas atas hewan-hewan yang didapat entah-darimana ini. Menurut istri pemilik kebun binatang ini, binatang-binatang yang terdapat di tempat itu merupakan hasil tangkap masyarakat setempat yang kemudian dijual. Dibeli dengan alasan membantu ekonomi masyarakat dan pelestarian hewan yang terancam punah. Jika begini, bagaimana sebaiknya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline