Lihat ke Halaman Asli

Fery Putrawan Cusmanri

Satu dari sekian pemuda yang biasa saja dengan ide-ide yang boleh dicoba

Mengulik Human Error yang Terkadang Bukan Human Error

Diperbarui: 23 Juni 2020   11:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang penyair pernah berkata :

وما سُمِّيَ الإنسانُ إلاَّ لِنَسْيِهِ 

ولاَ القلبُ إلاَّ أنهُ يَتَقَلَّبُ 

"Tidaklah manusia itu disebut Al-Insan, kecuali karena ia memiliki sifat lupa (نَسْيٌ ), dan tidaklah hati itu disebut Al-Qolbu melainkan karena ia (hati itu) senantiasa terbolak-balik/berubah-ubah (يَتَقَلَّبُ )."

Manusia lekat akan kesalahan. Istilah human error sendiri merupakan salah satu istilah yang sangat populer yang menjadi salah satu kesimpulan dalam analisis akar masalah/root cause analysis (RCA). Human error yang paling umum adalah lupa, kurang fokus, atau kurang paham. Human error sendiri menjadi salah satu kesimpulan akar masalah yang paling populer, karena tidak perlu effort yang terlalu besar, penyelesaian masalah yang mudah dan murah (pelatihan ulang, teguran, dll), serta tidak lupa sifat dasar manusia yang tidak ingin disalahkan dan cenderung judgemental.

Well, tidak dipungkiri kebanyakan human error -seperti yang dipaparkan sebelumnya- seringkali berakhir pada kesimpulan pointing finger kepada pelakunya. Kesimpulan ini memiliki banyak faktor, bisa jadi karena memang sifat analis masalah yang tidak ingin disalahkan atau memang kedalaman analisa yang terlalu rendah. Anggap saja kita positif thinking kepada analis masalah dan menganggapnya tidak terlalu egois, sebetulnya penyebab human error sudah dirumuskan menjadi the dirty dozen (dua belas hal kotor) yang populer di dunia penerbangan[1]. 12 hal itu antara lain :

  1. Lack of communication (kurangnya komunikasi);
  2. Complacency (terlalu percaya diri);
  3.  Distraction (distraksi/tidak fokus);
  4. Lack of knowledge (kurang pengetahuan);
  5. Lack of teamowork (kurang kerjasama);
  6. Fatigue (kelelahan);
  7. Norms (kebiasaaan/hal-hal yang melanggar prosedur namun dianggap biasa);
  8. Lack of awareness (kurangnya kewaspadaan);
  9. Stress (tekanan jiwa/depresi);
  10. Pressure (tekanan);
  11. Lack of resources (kekurangan sumber daya)dan
  12. Lack of assertiveness (kurangnya kebebasan berbicara).

Salah satu tools -yang mungkin tidak banyak orang tahu, dan cukup mudah sebetulnya- dalam melakukan RCA adalah Five Whys (5 pertanyaan kenapa). Dinamakan '5 pertanyaan kenapa' karena biasanya akar masalah akan muncul pada pertanyaan kelima. Namun tentu tidak harus bertanya sampai 5 pertanyaan [2]. Jika dirasa cukup pada 3 atau 4 pertanyaan saja tidak masalah. Contoh penggunaan :

  1. Kenapa tangan Tono tergores ?
    Jawab : karena terkena benda tajam pada mesin
  2. Kenapa bisa terkena benda tajam ?
    Jawab : karena kurang waspada (lack or awareness)

Mungkin sebagian orang akan berhenti pada pertanyaan kedua dan kemudian menegur Tono agar selanjutnya lebih hati-hati. Inilah yang tadi disebut sebagai kecenderungan pointing finger. Padahal, jika pertanyaan diteruskan menjadi "Kenapa bisa kurang waspada ?", jawaban yang muncul boleh jadi : karena terdistraksi oleh panggilan rekan kerja/atasan (distraction), karena belum diberikan pelatihan (lack of knowledge), karena tidak ada prosedur pengoperasian mesin (lack of knowledge), karena tidak ada pelindung keselamatan pada mesin (lack of resources), tertekan karena dikejar jadwal  produksi (pressure), diberikan pekerjaan di luar kemampuan (fatigue), atau kemungkinan-kemungkinan lain.

Jika dilihat dari pilihan jawaban dapat dimungkinkan akar masalah bukan pada Tono atau bukan hanya pada Tono, namun juga pada manajemen yang kurang baik, entah dalam manajemen pegawai maupun penyediaan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan suatu proses. Misalnya jika akar masalah karena tidak ada pelindung keselamatan. Tentunya bukan tanggung jawab Tono untuk membeli sumber daya semacam ini, itu merupakan tanggung jawab perusahaan sebagai pihak yang memperkerjakan pegawai.

Well, analisis akar masalah memang bukan perkara gampang untuk dilakukan karena membutuhkan waktu dan sumber daya untuk melakukan analisis secara tepat dan adil. Namun penetapan akar masalah yang tepat dapat mencegah masalah yang sama terus berulang. Ambil contoh kasus Tono di atas. Jika manajemen bersikeras kesalahan ada pada Tono dan bukannya memberikan pelindung keselamatan, maka yang tangannya tergores bukan hanya si Tono, namun juga Tomo, Tini, dan Tomi.

referensi :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline