Lihat ke Halaman Asli

Tante Tukang Sayur

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tante Tukang Sayur

Perempuaninijauh dari sentuhan salon maupun alat-alat kosmetik lainnya, mungkin jikalau sisir yang ujungnya banyak yang patahdanbedak bayi murahanyang wadahnya terbuat dari kardus yangsekarang warnanya sudah pudar, disebut alat kosmetik, itu masih dalam relatif yang sangat wajar, sekedar menjaga agar rambutnya tetap rapih dan jugamenutupi kepucatan wajahnya yang akhir-akhir ini sering timbul karena keletihan dan faktor usia yang mulai digerogotioleh putaran waktu.

Sejak dari usia belia, beliau sudah bekerja kerassekedar untuk membantu orangtuanyadalam memenuhi kebutuhan perut keluarga untuk satu hari. Mungkin hal itu wajar, karena dalam situasi zaman kemerdekaan Indonesia, yang tentunya mengalami kekacauanekonomi dimana-mana. Ketika ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya dengan alasan tidakmempunyai dana, tidak sedikitpun ia mengeluh ataupu menyalahkan orang tuanya. Mungkin hal itu adalah wajar, karena dengan banyaknya mulut yang harus dihidupi, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang mahal dan tidak selalu menjadi prioritas. Bahkan sampai ia menikah, dan dikaruniakan Tuhan dengan lima anak, ia tetap bekerja kerasagar anak-anaknya bisa merasakanpendidikan sampai taraf yang tinggi, selalu tergiang ketika ditanya mengapa harus bersusah payah untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, yang hanya dijawab begitu sederhana oleh perempuan itu “ ..agar mereka bisa pintar dan tidak susah seperti aku ini.. “

Jadwal pekerjaannya sangatteraturdan disiplin, bangun jam 4 pagi,berdoa, memasak air untuk menyeduh teh sebelum berangkat ke pasar dengan diantar oleh anaknyayang paling bungsu.Dari pasar, ia akan sampai di rumah sekitar pukul enam pagi dan mulai menyiapkan sayur mayur dan segala perniknya untuk di jual sampai sore hari. Sambil berjualan, jikalau tidak ada pembeli, maka ia akan hilir mudik dariwarungke dapur untuk mempersiapkan makanan bagi keluarganya. Mengepel, mencuci, memasak dan melayani pembeli itu dilakukannnya sekaligus. Jikalau waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, seakan menjadi rahasia umum di kampung itu, merupakan jam istirahat bagi perempuan yang kuat itu, tidak lebih dari satu jam ia tidur, sekedar mengistirahatkan matadan memulihkan kekuatannyademi melakukan aktifitas selanjutnya. Setelah surya mulai tenggelam, maka ia akan membereskan sayur mayur yang masih tersisa yang jikalau mungkin akan dijualnya esok hari.

Dari segala rutinitas yang dilakukan setiap hari, ada dua hari yang dikhususkan baginya. Kamis malam, adalah acara partangiangan yang diadakan oleh gereja, sebagaiwadah untuk mengenal Alkitab lebihdalam dan juga menggalang kebersamaan sesama komunitas antar gereja yangberada dalam satu wilayah. Sedangkan hari Minggu, hari yang ahad, di situlah ia akan mencari bedak untuk melupuri wajah dan sisirnya untuk merapihkan rambutnya. Kadang ia melumuri bibirnya dengan lipstik, yang katanya “..agar kelihatan cantik di hadapan Tuhan.”

Sampai usianya yang sudah memasuki kepala senja, tidak banyak ayat Alkitab yang diketahuinya selain dari kitab mazmuryang mengatakan Tuhan adalah kekuatanku, yang sering sekali diucapkan jikalau menghadapi kesulitan hidup ini. Juga tidak banyak tokoh Alkitab yang di hapalnya, selain Yesusitu sendiri. Namun iatelah menjadi saksi yang hidup bukan hanya di gereja, namun juga di lingkungan rumah kontrakan yang sudah didiami hampir sepuluh tahun. Orang kampungsudah tahu ia adalah seorang kristiani, justru dariia berdagang sayur mayur. Tidak jarang ia mengalami kerugiandari berjualan, asalkan tetangganya bisa makan walau tidak mempuyai uang. Atau membebaskan hutang kepada langganannya setelah ia melihat bahwa tidak mungkin langganannya bisa membayar hutangnya itu. Padahal berapa sih keuntungan dari berjualan sayur mayur di pelosok kampung ?, dengan segala keletihannya, ia masih mau menghapuskan hutang langganannya, yang tentunya akan datang membeli sayur dan berhutang lagi. Ketika ditanya mengapa ia mau melakukan itu, dengan terkekeh ia menjawab “ Tuhan pun melakukan itu kepadaku ..”.

Perempuan itu adalah ibuku, yang bisa tersenyum dari segala tekanan hidup yang pernah dialaminya. Perempuan yang banyak memberi pelajaran kepadaku dari tindakannya. Aku bangga bisa lahir dari rahim seorang inang yang tangguh, bahkan lebih dari ayahku sekalipun. Ia merupakan kesaksian yang hidup bagi orang di sekitarnya. Ketika orangtuaku memutuskan untuk pulang kampung agar bisa mengurus ompung yang sakit, seluruh kampung menangis melepas kepergiannya. Aku menyaksikan sendiri,beberapa orang memberikan uang dan berusaha meminta agar inang tidak pergi. Kata mereka “..Tante janganlah pergi tan, sepi kampung ini kalau tidak ada tante..” sambil mengeluarkan air mata. Ketika kembali aku menuliskan kisah ini, dalam hatiku tersembul kerinduan untuk melihat inang yang jauh di seberang.

( fery aman, Lippo cikarang, 17 April 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline