Studi terkait "Shadow Economy" saat ini masih menjadi tantangan tersendiri, mengingat nature- nya yang tak transparan dan memang tersembunyi. Bahkan untuk menentukan definisi yang akurat, apa itu Shadow Economy terasa sulit. Sulitnya menghitung skala kegiatan yang termasuk di dalamnya dan bagaimana mengukur potensi kerugian sebuah negara akibat aktivitas ekonomi bayangan ini.
Tak heran juga sih sebenarnya namanya juga "Shadow" ya, bayangan tak jelas dan pastinya jauh dari kata transparan. Namun, saya akan mengacu pada Working Paper-nya IMF yang dirilis tahun 2018 dengan bahasan hasil riset yang dilakukan Leandro Medina dan Friedrich Scheneider dengan judul " Shadow Economies Around The World : What Did We Learn for Over 20 Years?"
Dalam Paper itu disebutkan bahwa terminologi Shadow economy sering dipersamakan dengan Underground Economy, Hidden Economy, Gray Economy, Black Economy, Unobserved Economy, Informal Economy, atau Cash Economy. Namun jika kita mau mencari definisi yang pasti agak sulit karena definisi yang digunakan oleh para peneliti di bidang ini bervariasi sesuai dengan indikator yang dipergunakan dan metode yang menjadi dasar penelitiannya.
Dalam Paper itu disebutkan, shadow economy dapat diartikan sebagai semua kegiatan ekonomi yang disembunyikan dari otoritas resmi karena alasan moneter (monetary reasons), pengaturan (regulatory reasons), dan kelembagaan (institutional reasons).
Namun bila kita artikan secara umum shadow economy ialah semua aktivitas ekonomi baik itu bersifat aktivitas legal maupun ilegal yang memiliki kontribusi terhadap perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Nasional Bruto(PNB) tetapi ativitas tersebut sama sekali tak tercatat dan terhitung.
Aktivitas ilegal yaitu pasar ilegal dimana barang dan jasa diproduksi, dijual, dan di konsumsi secara ilegal. Aktivitas ini dapat dikatakan melanggar hukum contohnya peredaran narkoba dan prostitusi.
Sedangkan aktivitas legal yang dapat dikategorikan ke dalam shadow economy adalah produksi barang dan jasa yang diproduksi secara legal namun ditransaksikan secara tertutup untuk menghindari kewajiban membayar pajak, pembayaran kewajiban perlindungan sosial, menghindari standar yang telah ditetapkan seperti upah minimum, waktu kerja maksimum, hingga standar keselamatan. Dan yang terakhir menghindari prosedur administrasi yang telah ditentukan oleh pihak regulator
Kegiatan Shadow economy seperti ini membuat kinerja ekonomi suatu negara yang biasanya memakai ukuran GDP menjadi bias. Di sisi lain kegiatan ekonomi bayangan ini bisa menciptakan kehilangan potensi pendapatan pajak yang itu menjadi kerugian negara. Aktivitas shadow economy biasanya lepas dari pengawasan otoritas pajak negara setempat, sehingga menghilangkan kewajiban membayar pajak dari pelaku shadow economy.
Pengukuran skala shadow economy menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, besarnya pajak yang harus ditanggung para pelaku ekonomi bayangan tersebut. Dengan melakukan aktivitas shadow economy tersebur artinya pelaku merasa terbebani oleh pemerintah. Dan mereka memilih untuk melakukan Exit option, artinya para pelaku usaha merasa berat dengan besaran pajak yang harus ditanggung.
Kedua, perkembangan shadow economy akan membuat pengambilan kebijakan di sektor ekonomi menjadi bias dan tak efesien karena pengukuran beberapa indikator ekonomi seperti pengangguran, angkatan kerja, konsumsi, dan pendapatan menjadi tidak akurat. Ketiga, berpotensi menciptakan kompetisi antara pekerja legal dan ilegal yang secara alami tertarik masuk ke dalam shadow economy.
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang concern terhadap aktivitas shadow economy ini kemudian mengklasifikasikan kegiatan shadow economy ini sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.