Lihat ke Halaman Asli

Fery. W

Berharap memberi manfaat

Jokowi Tak Tahu Isi Revisi RUU KPK, Masa?

Diperbarui: 6 September 2019   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: TEMPO/Subekti

Usaha wakil rakyat dalam melemahkan fungsi Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) terus dilakukan. Wacana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali muncul setelah sekian lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Diam-diam, bak maling mengincar barang jarahan tiba-tiba dalam rapat paripurna Kamis (05/09/19) mereka mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) terkait Revisi UU KPK.

Revisi UU KPK kali ini, menurut Ketua Dewan Komisioner KPK Agus Rahardjo berpotensi melemahkan KPK. "Terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK," kata dia dalam konferensi pers di gedung KPK, Kamis (05/09/19). Seperti yang dikutip dari CNNIndonesia.com

9 poin yang berpotensi menjadi persoalan itu ialah, Pertama, Independensi KPK terancam, pasalnya dalam naskah revisi tersebut, KPK tidak disebutkan lagi sebagai lembaga independen, yang bebas dari pengaruh pihak manapun namun hanya disebutkan sebagai Lembaga Pemerintah Pusat. 

Dan status pegawai KPK akan dijadikan sebagai Aparat Sipil Negara alias ASN, akan ada kerikuhan tersendiri jika penyidik-penyidik KPK memeriksa pejabat-pejabat pemerintahan jika berstatus ASN.

Kedua, pembatasan waktu salah satu kewenangan KPK, yakni penyadapan, hanya boleh dilakukan 3 bulan dan atas ijin dewan pengawas KPK. Padahal biasanya penyelidikan kasus Korupsi memerlukan jangka waktu yang panjang. Dan memang dari awal kewenangan penyadapan yang sering diincar untuk dihilangkan atau paling tidak diminimalisasi fungsinya.

Ketiga, pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih oleh DPR,pembentukan organ bari ditubuh KPK ini berpotensi memperpanjang birokrasi pengambilan keputusan apabila akan melakukan penindakan dalam sebuah kasus.

Keempat, pembatasan sumber untuk mendapatkan penyidik dan penyelidik, harus dari Polri. Diluar itu tidak diperkenankan, padahal sekarang keduanya merupakan gabungan anatara peyidik dari Polri, penyelidik dari ASN. Padahal menurut MK, kewenangan menentukan penyidik dan penyelidik itu merupakan ranah internal KPK.

Kelima, penuntutan perkara korupsi harus selalu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini membuat KPK tak bisa bergerak agile, lambat karena harus berkoordinasi sana sini. Padahal terkadang kecepatan tindakan menjadi salah satu kelebihan KPK.

Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat, tidak lagi masuk ke dalam kriteria untuk mempercepat penyelesaian sebuah kasus.

Ketujuh, KPK hanya boleh mengambil alih suatu kasus korupsi jika masih dalam proses penyeledikan, tidak seperti sekarang di proses pada tahap penuntutan pun KPK boleh mengakuisisi kasus korupsi tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline