Hampir semua orang di Indonesia mengenal istilah pinjaman online atau pinjol. Sebagai bagian dari ekosistem keuangan digital yang berkembang pesat, pinjol menawarkan kemudahan akses terhadap dana.
Namun, di balik kemudahannya, istilah pinjol telah menjadi sinonim untuk praktik-praktik bisnis yang tidak etis. Bunga yang sangat tinggi tanpa transparansi, penagihan yang agresif dan intimidatif, serta pelanggaran privasi data menjadi hal yang umum terjadi.
Stigma negatif yang melekat pada pinjol tidak hanya terbatas pada aspek finansial, tetapi juga berdampak pada psikologis para peminjam.
Tekanan untuk melunasi utang dengan cepat, ancaman dari debt collector, dan perasaan malu seringkali membuat peminjam terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diputus.
Hal ini dapat menyebabkan stres, depresi, hingga dalam beberapa kasus nasabahnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Alhasil stigma negatif yang melekat pada pinjol mengakar kuat dalam benak masyarakat.
Hal ini ironis mengingat potensi positif yang sebenarnya dimiliki oleh layanan ini. Pinjol dapat menjadi solusi finansial yang cepat dan mudah, terutama untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau modal usaha.
Namun, praktik bisnis yang tidak etis dari sebagian pelaku industri telah menodai citra pinjol secara keseluruhan.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan pesat industri pinjaman online di Indonesia. Per Oktober 2024, total pembiayaan pinjol mencapai Rp75,02 triliun, meningkat 29,23% dibandingkan tahun sebelumnya.
Jumlah pengguna aktif pinjol pun sangat signifikan, mencapai sekitar 20,91 juta akun, atau setara dengan hampir 8% dari total penduduk Indonesia.
Pertumbuhan ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap layanan peer to peer lending.